Ditengah Krisis Global, LEMI HMI Sebut Omnibus Law Solusi Pembangunan Nasional

logo

Oleh Arven Marta
(Direktur Eksekutif Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam PB HMI)

Meskipun mendapat penolakan dari elemen buruh, nampaknya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak bergeming dalam upaya melaksanakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang merupakan bagian dari wacana perampingan regulasi dari pemerintah. RUU Cipta Kerja menjadi RUU pertama yang dimasukkan kedalam bagian dari perampingan hukum dan peraturan atau biasa disebut dengan Omnibus Law.

Wacana Omnibus Law diharapkan menjadi ujung tombak untuk percepatan pertumbuhan ekonomi. Dan saya sepakat bahwasanya salah satu faktor yang menghambat laju perekonomian adalah jalur birokrasi. Nah, dengan adanya Omnibus Law, jalur birokrasi yang selama ini berbelit-belit karena regulasi yang panjang akan terpangkas. Dampaknya, proses investasi yang selama ini dikeluhkan oleh sebagian investor akan berjalan dengan cepat.

Menurut Menkopulhukam, Mahfud MD, Omnibus Law nantinya akan diberikan tugas untuk menggugurkan aturan-aturan yang dianggap tidak perlu. Omnibus Lawa secara khusus akan membenahi setiap regulasi di bidang ekonomi yang meliputi Investas, Pajak, Pembangunan dan Ketersediaan Lapangan Pekerjaan. Dengan adanya Omnibus Law sangat diharapkan akan berdampak pada efesiensi dan efektifitas perizinan investasi, sehingga tidak akan menghambat laju pembangunan nasional.

Bacaan Lainnya

Meniru kepada apa yang telah dilakukan oleh beberapa negara, teori Harrod-Domard menyimpulkan jika investasi mempunyai pengaruh ganda untuk jangka panjang (long-term). Satu sisi investasi berpengaruh terhadap perkembangan produksi nasional karena tersedianya stok modal yang menjadi faktor penting kelangsungan dunia usaha. Di sisi lain, investasi berpengaruh pada permintaan agregat. Oleh karena itu, untuk mencapai steady-state growth atau pertumbuhan ekonomi yang mantap diperlukan kondisi di mana para pelaku usahanya memiliki harapan dan pandangan yang cenderung stabil.

Investasi sebagai Penopang Pembangunan Ekonomi

Saya pikir sebagian ekonom masih sangat setuju jika pembangunan ekonomi ditopang oleh investasi. Toh, dengan kepengelolaan yang profesional dan mementingkan pertumbuhan ekonomi nasional agar berjalan baik, tak ada yang salah dengan lompatan besar yang tengah dipersiapkan oleh pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dalam upaya meningkatkan investasi.

Upaya pemerintah Indonesia untuk menggenjot laju investasi dalam menaikkan pertumbuhan ekonomi nasional sejalan dengan argumen Hermes & Lensink (2003) yang menyatakan bahwa Foreign Direct Investment (FDI) memiliki dampak positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi terhadap negara penerima di mayoritas negara–negara Amerika Latin dan Asia. Sebagai negara berkembang dengan mayoritas penduduk usia produktif, peran investasi dalam menyediakan lapangan kerja untuk mendorong sektor – sektor produktif menjadi fokus yang perlu mendapat perhatian.

Hal ini diperkuat oleh laporan World Bank pada September 2019 dengan judul ‘Global Economic Risks and Implications for Indonesia’, kunci dari pertumbuhan ekonomi terletak pada seberapa besar Penanaman Modal Asing (PMA). Data Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan realisasi PMA Triwulan II (periode April – Juni 2019) mengalami peningkatan dengan total realisasi investasi mencapai US$6.992juta dibandingkan dengan Triwulan I yang masih di angka US$6.080,7juta.

Namun World Bank mencatat PMA yang masuk ke Indonesia pada 5 tahun terakhir hanya sebesar 1,9% dari PDB yang masih jauh di bawah Kamboja yang mencapai 11,8% dari PDB, Vietnam 5,9% dari PDB, serta Malaysia yang mencapai 3,5% dari PDB. Persoalan yang digarisbawahi World Bank mengenai masih rendahnya kontribusi PMA Indonesia terhadap PDB terletak pada regulasi Indonesia yang dinilai terlalu rigid sehingga menyebabkan kurang kompetitif di pasar global.

Demi menciptakan lompatan besar menuju Indonesia Maju, Presiden Joko Widodo telah memfokuskan arah pembangunan pada akselerasi pertumbuhan ekonomi demi mewujudkan transformasi ekonomi nasional dari ketergantungan sumber daya alam ke arah peningkatan daya saing manufaktur dan jasa modern yang memiliki nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa Indonesia.

Semuanya memerlukan pengembangan investasi agar industrialisasi dan transformasi ekonomi dapat berjalan dengan baik dan mampu menopang pembangunan nasional kedepannya serta dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Perlunya Omnibus Law

Omnibus Law adalah metode mengganti dan/atau mencabut beberapa materi hukum dalam berbagai Undang–Undang sebagai strategi reformasi regulasi agar penataan dilakukan secara sekaligus terhadap banyak Peraturan Perundang–Undangan. Skema tersebut dilakukan untuk menyederhanakan, memangkas, serta menyelaraskan berbagai regulasi yang tumpang–tindih atau pun bertentangan dalam rumpun bidang yang sama.

Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah dilakukan pada negara yang menganut sistem common law dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi dalam rangka meningkatkan iklim serta daya saing investasi. Sehingga sebagai negara penganut sistem common law, Indonesia sangat mungkin untuk menerapkan Omnibus Law.

Misalnya, pada abad ke-19, Amerika Serikat tercatat memiliki tiga Omnibus Law yang cukup signifikan. Lalu, Irlandia pada tahun 1941, mengesahkan Amendemen Kedua Konstitusi yang berisi perubahan fundamental pada aturan hukum di sana. Kemudian di Selandia Baru, sebuah Omnibus Law disahkan pada November 2016 berisi legislasi bagi Wellington untuk memasuki Kerja Sama Trans Pasifik (TPP). Tak jauh dari Selandia Baru, yakni Australia, juga menelurkan Artikel 55 dalam Konstitusi berisi UU yang mengubah sejumlah peraturan perpajakan.

Untuk termin pertama, pemerintah direncanakan akan membentuk RUU Cipta Kerja, yang kemudian dilanjutkan dengan RUU Perpajakan. Kedua peraturan omnibus tersebut bersifat saling mendukung dan saling melengkapi serta diharapkan dapat menjadi pemantik demi mengupayakan cita-cita bersama untuk kepentingan ekonomi nasional.

Perpaduan kedua Omnibus Law diatas sangat tepat jika diimplementasikan di tengah dinamika ketidakpastian geopolitik global saat ini akibat upaya proteksionisme negara adidaya. Penciptaan iklim investasi yang kodusif akan sangat berpengaruh terhadap meningkatnya daya tarik investasi nasional yang diharapkan dapat menarik pola aliran investasi negara–negara maju di berbagai kawasan Indonesia.

Pada prakteknya, Omnibus Law Cipta Kerja akan menyasar kepada 11 hal pokok, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah serta kawasan ekonomi. Dari 11 hal pokok tersebut, dirancang untuk menyederhanakan perizianan berusaha yang meliputi perizinan dasar (izin lokasi, perizinan lingkungan, perizinan bangunan gedung) serta perizinan sektor yang mencakup 15 sektor.

Sedangkan Omnibus Law Perpajakan mencakup 6 pilar yaitu pendanaan investasi, sistem teritori, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha serta Fasilitas. Kesemuanya akan fokus pada penguatan peran instrumen fiskal sebagai counter cyclical dalam menjaga kestabilan ekonomi dengan memastikan kemudahan iklim berinvestasi.

Omnibus Law diharapkan menjadi lompatan besar dan langkah terobosan dalam mengupayakan iklim investasi yang kondusif, sehingga hyper-regulation, baik sektoral maupun operasional yang selama ini menjadi penghambat masuknya investasi dapat diminimalisir guna memastikan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dapat berjalan sesuai harapan.

Dari penjabaran diatas, menurut saya pilihan strategi Indonesia dalam menerapkan Omnibus Law sangatlah tepat. Alasannya, mengingat iklim investasi dan daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain (peer group) seperti Malaysia dan Thailand yang dibuktikan dari laporan “Ease of Doing Business (EODB)” 2020 yang dirilis oleh Bank Dunia, Indonesia masih berada di peringkat 6 besar negara di ASEAN dengan total skor 69,6 sedangkan Malaysia dan Thailand masing – masing memiliki total skor 81,5 serta 80,1.

Saat investasi dapat ditarik, saat itu juga perekenomian nasional akan naik. Bagi saya, ditengah ketidakpastian ekonomi secara global saat sekarang ini, maka Omnibus Law dapat menjadi solusi bagi pembangunan nasional.

logo redaksi Jakarta terbaru

Pos terkait