HRS, Jokowi & Revolusi Akhlak

logo

Jakarta – Sejak pertama kali tiba di tanah air, sejak hijrah tiga tahun lalu ke Arab, nama Habib Rizieq Shihab selalu menghiasi halaman depan pemberitaan. Mulai dari tutur hingga tindakannya disorot. Tidak hanya oleh media, tetapi juga publik dan pemerintah.

Lepas dari segala kontroversi, salah satu agenda penting yang diusung HRS adalah revolusi akhlak. Penting karena relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Bahwa gagasan itu datang dari seorang HRS yang saat ini sedang dalam sel polisi, tidak soal, sebab yang penting adalah pesan moral di balik revolusi akhlak itu.

Revolusi akhlak yang HRS canangkan satu nafas dengan apa yang dikutip Presiden Jokowi dari Soekarno soal revolusi mental. Revolusi mental adalah suatu antitesis terhadap buruknya situasi Indonesia pada saat ini. Apakah itu berhasil? Kita berharap begitu, tapi faktanya masih jauh dari panggang api. Faktanya, sudah dua periode menjabat masih ada di sana-sini terjadi korupsi bahkan di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri.

Lantas, apakah Jokowi gagal merevolusi mental bangsa Indonesia? Ya, dalam pengertian itu dengan melihat kasus-kasus yang ada. Tetapi, tidak sepenuhnya gagal, karena soal mental butuh proses. Butuh waktu tidak sedikit untuk mengubah mindset lama, butuh waktu panjang untuk mengubah cara berpikir lama orang Indonesia terutama para birokrat dan politisi kita yang korup.

Bacaan Lainnya

Dalam konteks itu saya kira apa yang dicanangkan Oleh HRS sangat bagus dan relevan. Apa yang dilakukan HRS saat ini sangat diperlukan. Bisa dikatakan kehadiran HRS dengan wacana revolusi akhlak itu sebagai fungsi kontrol terhadap pemerintah, karena praktis, hari ini, fungsi itu yang seharusnya dilakukan oleh parlemen (DPR) tidak berjalan. Itu bisa dipahami karena mayoritas parlemen dikuasai partai penguasa, minus Demokrat dan PKS, karena katanya mengambil garis yang berbeda. Itupun tidak cukup karena kalah jumlah, 2 partai berbanding 7 partai. Berharap mahasiswa atau organisasi mahasiswa? Lebih baik tidur saja dari pada berharap. Karena mayoritas telah menjadi penjilat penguasa dan cenderung oportunis.

Bukan hendak menempatkan apa yang dilakukan HRS sebagai satu-satunya pilihan. Tetapi yang sampai hari ini yang tetap konsisten hanya HRS sebagai oposisi, walaupun dicap sebagai “kadrun”. Tetapi label itu hanya sebagai kontra narasi rezim dan buzzerRp yang sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan, bahwa memang ada ketimpangan, ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia.

Banyak orang, terutama pemerintah dan partai-partai politik yang mendukung rezim, mungkin tak suka HRS tapi itu bukan berarti revolusi akhlak tak perlu. Gagasan itu sangat relevan terutama jika kita melihat bagaimana para pembantu Jokowi yang korup: korupsi Mensos Juliari Batubara dan Menteri Kelautan Edi Prabowo.

Revolusi mental masih jauh dari berhasil (supaya tidak bilang gagal total). Barangkali presiden Jokowi perlu mempertimbangkan wacana revolusi akhlak yang diusung HRS. Berkolaborasi dengan HRS untuk wujudkan revolusi akhlak saya kira bagus.

Kolaborasi mungkin kata yang cocok jika melihat situasi saat ini. Di tengah pandemi, birokrasi dan elit yang korup, bukan waktu yang tepat untuk saling menebar permusuhan. Karena jika demikian kita hanya akan berjalan di tempat.

Pemerintah selain mengajak kerjasama pihak-pihak lain, tak perlu melakukan pembungkaman sikap kritis terhadap warga negara. Itu tak bagus bagi edukasi demokratis kepada generasi muda bangsa Indonesia.

Sekian dan wasalam. 🤝🌹

Jurdil Kathonna Maure
(Anggota Biasa PMKRI Cabang Jakarta Pusat)

logo redaksi Jakarta terbaru

Pos terkait