Surat Cinta Anak Bangsa Untuk PT Pertamina : Respons Kritis Atas Tragedi Terbakarnya Kilang Minyak Cilacap


Oleh : El Gusti, Sekjend Indonesian Community Energy Research (ICER)

Jasmerah—“Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” (Ir. Soekarno)

Di Indonesia—bahkan di dunia, nama Nicke Widyawati tercatat sebagai salah satu perempuan terbaik di abad 21. Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) lulusan Teknik Industri ini, adalah Direktur Utama salah satu perusahaan terbaik yang dimiliki Negara, yakni PT Pertamina. Dirinya menjabat sebagai orang nomor satu di PT Pertamina sejak tanggal 20 April 2018 hingga saat ini. Namun perjalannya sebagai pimpinan tak selamanya berjalan mulus. Terbakarnya Kilang Minyak dalam rentang waktu lima bulan kembali menjadi sorotan masyarakat.

Sepanjang tahun 2021, kilang minyak milik PT Pertamina sudah dua kali terbakar. Indikator paling kuat menurut Pakar adalah : Sambaran Petir. Meskipun PT Pertamina sudah mendaku memiliki teknologi penangkal petir standar internasional, namun naas—kejadiaan yang tak diinginkan kembali mengulang. Nyawa pegawai lapangan PT Pertamina jadi taruhan ; suara ledakannya mengusik pendengaran masyarakat ; asapnya mengotori langit Cilacap yang bersih; hingga resiko yang paling dihindari yakni: Merugikan dan Menguras Anggaran Negara di Masa Pemulihan Ekonomi Nasional.

Bacaan Lainnya

Di saat Presiden Joko Widodo gaungkan semangat pemulihan ekonomi nasional melalui sejumlah program stimulus ekonomi bagi masyarakat, PT Pertamina memainkan peranan penting sebagai penyuplai utama bahan bakar fosil dan gas untuk masyarakat agar tetap mampu berproduksi di era Pandemi ini. Namun dua tragedi terbakarnya kilang minyak sepanjang tahun 2021 ini, harus menjadi renungan kritis bagi Presiden, Menteri BUMN, Komisaris PT Pertamina, jajaran Direksi di PT Pertamina hingga masyarakat Indonesia.

Ombudsman RI (ORI) sebagai lembaga pengawasan penyelenggaraan Pelayanan Publik, dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN)—telah membuat kajian dan investigasi terkait tragedi meledaknya Kilang Minyak pada tangga 11 Juni 2021 lalu. Dalam hasil kajian Ombudsman RI bersama para ahli Petir dari ITB Bandung bulan Oktober 2021, dimunculkan dugaan kuat bahwa : Teknologi Penangkal Petir berstandar Internasional yang dimiliki PT Pertamina, tidak cocok dengan karakteristik Petir Indonesia yang beriklim Tropis.

Lima bulan pasca ledakan besar di Kilang Minyak PT Pertamina di Cilacap, Jawa Tengah, ledakan kembali terjadi. Kali ini ledakan tersebut berasal dari salah satu Tangki Kilang Minyak berisi produk petralite. Ledakan tersebut terjadi pada tanggal 13 November 2021. Dugaan kuat meledaknya Tangki adalah sambaran petir. Dan lagi-lagi karena sambaran petir. Dalam sejarah terbakarnya Kilang Minyak PT Pertamina, kejadian ini adalah kali ketiga yang disebabkan oleh Sambaran Petir.

PT Pertamina sebenarnya beruntung dipimpin oleh Perempuan pintar yang diakui oleh dunia internasional. Dipilihnya Nicke Widyawati sebagai Direktur Utama diharapkan mampu mengelola dan menjaga stabilitas ketersediaan bahan bakar minyak dan gas masyarakat Indonesia. PT Pertamina sebagai pengelola salah satu objek vital negara ini pastinya dipimpin oleh orang-orang terbaik. Namun dua tragedi kebakaran Kilang Minyak dalam lima bulan terakhir, membuat masyarakat tenggelam dalam keraguan, kecemasan dan juga ketakutan.

Tragedi Meledaknya Kilang Minyak Cilacap yang kedua kali dalam rentang waktu lima bulan, membuat Ombudsman RI, BMKG, Ilmuan, Komisi IV dan VII DPR RI, Polri, Menteri BUMN Erick Thohir hingga Presiden Jokowi memberikan catatan kritis kepada PT Pertamina. Anggota DPR RI Komisi IV, Adian Napitupulu menduga ada tiga unsur yang memicu kejadian serupa mengulang. Pertama, Petir. Kedua, Human Eror. Dan Ketiga, Sabotase. Namun dugaan-dugaan ini harus di letakan dalam tanda kurung. Kini, biarlah aparat Kepolisian bekerja untuk mendalami tragedi ini—demi melihat fakta objektif di Lapangan.

Ombudsman telah mengeluarkan rekomendasi untuk PT Pertamina agar segera merevisi standar teknologi Penangkal Petir yang digunakan. BMKG dan Ilmuan tahu persis dengan karakter iklim dan Petir Indonesia yang tropis. Artinya, PT Pertamina dilingkupi dan disokong oleh pihak-pihak yang tahu persis dengan kondisi dan persoalan yang sedang dihadapi PT Pertamina. Bila pemicu utamanya adalah Petir, maka PT Pertamina sudah sepatutnya menjadikan laporan Ombudsman dan Ilmuan sebagai bahan untuk merubah sistem teknologi. Namun bagaimana bila hal itu disebabkan oleh Human Eror, atau Sabotase seperti yang diduga oleh Adian Napitupulu?

Bangsa ini sejatinya tak kekurangan orang pintar, tapi krisis orang-orang yang mau mendengarkan masukan. Presiden Joko Widodo adalah tipikal pemimpin yang sangat aspiratif atau mau mendengarkan masukan publik dan juga para ahli. Namun entah mengapa, PT Pertamina sepertinya tak mau mendengarkan masukan dan rekomendasi Ombudsman dan para ahli? Seharusnya laporan-laporan tersebut menjadi catatan kritis dan juga bahan perenungan bagi PT Pertamina untuk melakukan evaluasi mendalam, khususnya dalam sistem atau teknologi yang dimiliki.

Penulis berharap PT Pertamina tak lagi terjebak dan keras kepala dengan logika atau Standar Internasional—karena tak selamanya yang berbau Internasional itu relevan dengan kondisi negara. PT Pertamina harus segera berubah dan berbenah. Bangsa ini sedang sekarat, dan berupaya untuk bangkit dari keterpurukan. Belajarlah dari sejarah dan ahlinya, agar mampu mengantisipasi kejadian serupa mengulang di kemudian hari.

Pos terkait