Pseudo Negara Hukum dan Demokrasi Indonesia dalam Wacana Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Oleh : Syamsumarlin (Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMI PB HMI)

Kata _‘pseudo’_ dalam KBBI berarti _“semu; palsu; bukan yang sebenarnya”,_ seperti geliat wacana penundaan pemilihan umum (pemilu) dan perpanjangan masa jabatan presiden yang digaungkan oleh elit politik dan pemerintah akhir-akhir ini. Wacana ini telah dikemukakan oleh tiga ketua umum partai politik koalisi pemerintahan, yaitu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan. Dari lingkup pemerintahan, wacana penundaan pemilu pun telah dilontarkan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarinves) Luhut Binsar Panjaitan, bahkan Menteri Luhut mengaku memiliki big data 110 juta warganet yang meminta penundaan pemilu 2024. Fenomena ini semakin menampakkan kegaduhan dan mereduksi semangat berdemokrasi di Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis pasca reformasi.

Pemilu dalam Negara Hukum yang Demokratis

Pasca Amandemen Ketiga UUD NRI Tahun 1945, dalam Pasal 1 Ayat (3) dengan tegas dinyatakan bahwa _“Negara Indonesia adalah negara hukum”._ Frasa tersebut mengandung arti seluruh penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan hukum (rechtstaat), bukan didasarkan atas hasrat kekuasaan semata (machtstaat).

Bacaan Lainnya

Pemilu sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara demokratis sejatinya harus bertumpu pada konstitusi. Sikap tunduk dan patuh terhadap konstitusi dalam setiap agenda penyelenggaraan negara merupakan wujud ideal menuju cita negara hukum yang demokratis.

Agenda pemilu dan masa jabatan presiden secara gamblang telah diatur dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi _“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”,_ juga dalam Pasal 22E Ayat (1) berbunyi _“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”,_ sehingga wacana menunda pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan presiden merupakan ide liar di luar nalar konstitusi.

Pelanggaran Konstitusi

UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara telah secara eksplisit mengatur bahwa pemilu dilaksanakan secara berkala setiap lima tahun dan pembatasan masa jabatan presiden maksimal untuk dua periode. Sehingga, menunda pelaksanaan pemilu 2024 adalah tindakan inkonstitusional, merupakan bentuk pelanggaran dan penghianatan terhadap konstitusi. Jika hasrat kekuasaan mendominasi sikap tunduk dan patuh terhadap konstitusi, maka cita negara hukum yang demokratis di Indonesia akan menjadi “semu; palsu; bukan lagi yang sebenarnya”.

Sebaiknya, elit politik dan pemerintah mengehentikan wacana untuk menunda pemilu 2024, apalagi dengan hasrat kekuasaan dan kepentingan golongan tertentu melegitimasi pelanggaran konstitusional tersebut dengan jalan amandemen kelima UUD. Jika hasrat kekuasaan ini tetap dilanggengkan, maka hal demikian dapat menggerus kepercayaan publik dan merusak iklim demokrasi hingga berpotensi mempengaruhi stabilitas keamanan nasional.

Mestinya, semua elemen bangsa khususnya pihak pemerintah fokus dalam upaya pemenuhan hak-hak dasar warga negara dan mewujudkan kesejahteraan rakyat yang sementara dalam kondisi karut marut akibat pandemi covid-19. Bukan dengan menggagas wacana yang cenderung membelah publik dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan konstitusi.

Pos terkait