Pemberdayaan Perempuan PP HIKMAHBUDHI berdiksusi dengan tema “Emansipasi Wanita Versus Patriarki”.

foto: Tangkap layar acara webinar PP HIKMAHBUDHI.(Istimewah)

Jakarta –  Diskusi pertama mengenai patriarki dan emansipasi wanita diawali dengan pertanyaan apa saja yang kita harus lakukan agar kita bisa setara dengan laki-laki

Pengantar pertama dari Ketua Kabid Pemberdayaan Perempuan PP HIKMAHBUDHI berpendapat “kita pada dasarnya sudah bisa dibilang setara dan atau tidak setara, tergantung kita memandang dari perspektif yang mana terlebih dahulu. Kalau kita yang sebagian kecil ini bisa dibilang setara, namun untuk perempuan-perempuan desa atau perempuan yang berada di wilayah yang masih menganut patriarki itu bisa saja dibilang tidak setara apalagi yang pendidikannya kurang.

Jadi kalau untuk mewujudkan kesetaran tersebut dapat dimulai dari pendidikan daerah tersebut. Baik pendidikan dari keluarga atau lingkungan, kita terapkan bahwa laki-laki itu sama dengan kita (perempuan). Kita tidak bisa meninggikan laki-laki tapi kita juga tidak bisa meninggikan perempuan jadi kita itu di jalan yang sama.

Kembali ke lingkungannya masing-masing terutama pendidikannya yang perlu ditingkatkan.”

Bacaan Lainnya

Dari peserta lain salah satunya Melinia Luky dari cabang HIKMAHBUDHI Tangsel menyahut bahwa “Pendapat saya dengan saudari Eri, sebenarnya tidak harus jauh-jauh kalau ingin setara, bisa dimulai dari diri kita sendiri.

Menurut saya kita tidak bisa mendapat pengakuan dari orang lain, kita tidak bisa menuntut orang lain untuk ‘’Ayo dong kamu mengakui wanita! Kita itu setara!’’.

Tetapi justru dimulai dari diri sendiri, kita banyak belajar. Yang saudara Eri katakan bahwa pendidikan itu penting.

Jadi misalkan kita sebagai wanita jangan cuma memikirkan pendidikan nomor sekian, justru dengan adanya pendidikan kita bisa lebih mengembangkan pengetahuan kita.

Yang terpenting dalam diri kita memiliki kemauan untuk mengembangkan kualitas kita sehingga nantinya tidak perlu ada pembuktian atau memaksakan untuk mendapat pengakuan kesetaran itu sendiri.

Jadi, bagaimana upaya kita agar bisa setara dengan laki-laki ? dapat disimpulkan bahwa kita sebagai perempuan bisa memulai dari diri kita sendiri, memiliki keinginan untuk belajar dan mengembangkan kulitas diri.

Agar kita tidak perlu memaksakan pendapat orang tentang pengakuan kesetaran kita sebagai perempuan dengan laki-laki.

Selain itu, dengan memperbaiki pendidikan baik di keluarga dan lingkungan itu juga salah satu cara untuk mendapatkan pembuktian bahwa kita juga ingin belajar, mengembangkan kualitas diri kita. Dengan begitu kita tidak harus susah payah dalam meminta pengakuan dari orang lain.

Dilanjut dengan pertanyaan kedua, bagaimana membangun kesadaran bawah perempuan juga bisa melakukan kegiatan selain menjadi ibu rumah tangga?
Pendapat pertama dari saudari Eri “Menurut saya yang paling penting dari pendidikannya, bisa juga lewat kampanye, tulisan-tulisan bisa membuat para ibu dan perempuan semangat untuk bekerja di luar menjadi ibu rumah tangga, tetapi sekarang ini juga banyak yang sudah bekerja di bidang selain menjadi rumah tangga.

Untuk laki-laki juga seharusnya paham jika perempuan juga bukan hanya dijadikan sebagai ibu rumah tangga semata. Seharusnya laki-laki juga membantu pekerjaan rumah tangga itu sendiri.

Walaupun terdengar aneh dengan kata bapak rumah tangga ini harus dijadikan hal yang lazim, supaya perempuan ini tidak memaklumi pekerjaan rumah tangga itu hanyalah pekerjaan perempuan, pekerjaan rumah tangga itu adalah pekerjaan bersama.

Jadi harus dimulai dari diri kita sendiri, pendidikan, lingkungan, kampanye, organisasi, dan saling mendukung sesama perempuan. Sebagai perempuan kita harus percqaya diri dan tidak mudah insecure dengan apa yang kita lakukan sekarang”.
Saudari Melinia Luky menyambung pernyataan dari saudari eri bahwa “Setuju dengan pendapat cik eri kita sebagai wanita.

Sebenarnya saya lebih menghight light dari kata kata cik Eri bahwa sesama perempuan justru saling menghujat.

karena mungkin yang saya lihat ada sifat kompetitif antar wanita itu sendiri.

Tetapi itu ada kekurangan dan kelebihan, jika dilihat dari kelebihannya para wanita menjadi berlomba-lomba untuk menjadi lebih baik tetapi ada wanita yang dimana sifat kompetitifnya tinggi, sangking tingginya menggunakan cara-cara yang tidak baik misalnya dengan cara-cara kotor,menjatuhkan sesama perempuan padahal kan seharusnya sesama perempuan saling mendukung.

Kalau ingin memiliki jiwa kompetitif harus dengan hal-hal yang positif dan diimbangi dengan sifat kebijaksanaan, dan sebagai wanita sendiri tidak boleh takut. Misalnya takut untuk mengikuti seminar dan berorganisasi.

Justru dengan rasa takut itu membuat kita itu tidak berkembang. Kalau misalnya dari jiwa perempuan memiliki keinginan untuk mencoba sesuatu hal yang baru pasti perempuan bisa lebih maju.

Setelah pendapat dari saudari Melinia, saudari Kartika sebagai kabid hubungan internasional PP HIKMAHBUDHI berpendapat bahwa “Mungkin sederhananya menurut saya lebih bijaksananya kita mengartikan atau memaknai emansipasi wanita ini sebagai bentuk kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan.

Jadi bukan berarti emansipasi wanita lebih meninggi-ninggikan merasa ego bahwa wanita juga seperti ini.

Alangkah baiknya kita antara laki-laki dan perempuan bekerjasama sebagai partner supaya kita mempunyai hak yang sama dan tanpa ada perbedaan dengan memandang keduanya seperti itu.

Dilanjut dengan pertanyaan ketiga, bagaimana cara mengedukasi pekerja perempuan mengenai hak-haknya sebagai pekerja perempuan ditengah Covid-19?
Langsung disambung oleh saudari Eri “Sebenarnya hak-hak perempuan pekerja diantaranya seperti cuti hamil, cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, perlindungan saat hamil, perlindungan dari pelecehan dari sekian hak tersebut sudah lumayan lengkap dari pemerintah yang atur.

Hanya saja bagaimana dari perusahaannya menerapkan dan kebijakannya perusahaan hak-hak tersebut untuk pekerja perempuannya.

Alangkah baiknya sebagai perusahaan yang baik dan benar menaati dan menerapkan aturan dari pemerintah. Baiknya lagi, perusahaan-perusahaan itu diawasi oleh instansi-instansi yang berwenang, supaya lebih terarah dan mengetahui apakah sudah menerapkan kewajiban dan hak-haknya untuk pekerjanya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Dilanjut dengan pertanyaan keempat, bagaimana cara mengempower diri sendiri supaya tujuan dan semangat kita tidak surut mungkin dalam hal bekerja atau kuliah supaya kita tetap semangat?
Disambung oleh saudari Wulan dari Cabang HIKMAHBUDHI Banjarmasin “Kalau dari saya sendiri bagaimana cara kita mengempower diri sendiri agar kita tetap semangat lebih memikirkan tujuan kita apa, misalkan saya ini kuliah biasanya niat dan tujuan kita sendiri.

Kalau misalnya kita sudah tau tujuan kita dan lakukan saja yang menurut kita benar dan hal tersebut membantu perkembangan untuk mencapai itu sendiri.

Kita juga perlu suposrt system dari orang lain seperti keluarga atau teman.

Mungkin kita lebih bisa meluangkan waktu untuk hal itu, selain itu fokus ke tujuan kita tadi”.

Dilanjut langsung oleh Silawati dari Cabang HIKMAHBUDHI Jakarta Utara “Menurut saya untuk meningkatkan rasa semangat itu yang pertama kita harus percaya dengan diri kita sendiri dulu.

Jika kita tidak memliki kepercayaan diri dalam diri bagaimana cara kita melakukan sesuatu karena kita memiliki potensi dan kekuatan masing-masing serta memiliki hal yang kita miliki untuk kita lakukan dan banggakan.

Ketika kita sudah memiliki kepercayaan diri tentu rasa semangat itu akan muncul dengan sendirinya.

Lalu yang kedua, kembali kita mengingat apa saja sih tujuan kita.

Misalkan kita saat ini kuliah ketika kita kurang semangat, kita harus mengingat tujuan awal kita , mengapa kita kuliah dan hal apa yang ingin kita capai.

Ketika kita mengingat tujuan-tujuan tersebut tentunya rasa semangat itu akan muncul lagi dalam diri kita.

Kemudian yang ketiga, kita harus memperbanyak relasi dengan sesama dan mengembangkan bakat dan minat.

Mengapa saya katakan demikian ketika kita memiliki teman dan support system yang lain hal tersebut akan membuat kita lebih semangat lagi untuk meningkatkan apa yang kita miliki. Berbeda halnya ketika kita tidak memiliki relasi itu sangat susah justru rasa kurang percaya diri semakin menggebu dalam diri kita kecuali kita memiliki teman dan teman kita memberikan sesuatu hal yang membuat kita lebih semangat lagi terlebih lagi dari orangtua.

Kemudian yang terakhir mengembangkan bakat dan minat kita, misalnya kita di kampus mengikuti UKM atau organisasi contohnya kita saat ini mengikuti organisasi HIKMAHBUDHI, ketika kita mengikuti HIKMAHBUDHI justru akakn menambah semnagat dan kepercayaan dalam diri kita lalu misalkan kita di kampus memiliki bakat bela diri dari situlah kita mengikuti UKM-UKM atau wadah untuk menambah skill sehingga kita dapat lebih semangat dan percaya diri.


Saudari Kartika menambahkan “Saya ingin menambah sedikit yang menurut saya sangat perlu dan penting bagaimana kita bisa membangun pola piker kita yang positif. Dan berhenti memandingkan diri kita dengan orang lain.

Karena kan setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-maisng jadi kita fokus pada kelebihan kita dan kita gali apa yang kita bisa begitu”.


Disambung dengan pertanyaan terakhir di diskusi ini sekarang ini kita tahu bahwa banyak perempuan takut berbicara dan berkarya karena terhalang oleh stigma di masyarakat, apa cara yang bisa membuat perempuan lebih berani untuk berbicara dan berkarya di lingkungan masyarakat?
Saudari Silawati menambahkan “Dari pendapat pribadi saya tentang stigma masyarakat justru pemikiran seperti itu yang kita perlu kawatirkan kenapa saya katakana demikian karena kita sebagai perempuan tidak mencoba membalik stigma dari masyarakat yang negatif itu.

Ketika kita terus saja terpuruk dengan stigma–stigma negatif tersebut tentu kita tidak akan bisa bergerak, justru kita akan semakin terpuruk dan akan semakin seperti apa masyarakat katakan.

Namun ketika kita memiliki keberanian membalik stigma-stigma negatif tersebut menjadi stigma yang positif dalam artian ketika masyarakat menganggap bahwa perempuan tidak bisa ini dan itu.

Mengapa saya katakan demikian saya sebagai seorang perempuan ketika menghadapi stigma-stigma tersebut saya mengambil sikap tak acuh.

Ketika kita terkontaminasi dengan stigma-stigma tersebut saya yakin kita tidak akan bergerak dan kita akan terpuruk.

Namun ketika kita berhasil membalik stigma tersebut dalam artian menolak bahwa saya tidak bisa berpendidikan tinggi atau saya tidak ingin menjadi ibu rumah tangga saja.

Saya harus berpendidikan tinggi, saya harus berkarya, dan sebagainya. Tentu wanita di luaran sana atau dalam lingkungan masyarakat akan lebih berani menyuarakan suaranya dan menyalurkan karyanya.

Jadi intinya saya harap teman-teman yang berada di liingkungan yang memiliki stigma negatif berusaha membalik stigma tersebut sehingga kita bisa menolak stigma-stigma negatif dari masyarakat dengan memberikan stigma yang positif, dimana kita harus membuktikan bahwa saya perempuan juga bisa berkarya dan menjadi diri sendiri tidak seperti yang dikatanya.”

Ditanggapi oleh saudari Melinia Luky “Sedikit dari saya, saya sependapat dengan teman-teman tadi, kita diksusi sekarang ini termasuk dalam menentang stigma dari orang-orang sekitar bahwa kita tidak bisa apa-apa, untuk berbicara juga tidak fasih.

Dengan diskusi ini kita membuktikan kalau sebenernya kita bisa dan menentang stigma-stigma dari orang-orang itu dan sebaiknya seterusnya kita akan terus mengadakan diskusi seperti ini dan kita dukung juga perempuan-perempuan lainnya.

Jadi sesama perempuan harus saling suportt kalau misalkan teman kita sesama perempuan yang insecure kita juga harus bantu dorong karena kekuatan perempuan dari diri kita sendiri dari perempuan sekitar dan keluarga.

Dan jangan pernah mendengarkan omomgan orang-orang. Omongan orang lain yang tidak baik, omongan yang bilang perempuan tidak bisa apa-apa agar dari diri kita terpacu untuk lebih baik. Kalau boleh saya kutip kata-kata sekjend HIKMHABUDHI Bung Ravindra “Sebenarnya jadi wanita itu tidak boleh lembek karena malah disitu tertindas”.

Mungkin satu poin lagi yang saya ingin tambahkan sebagai wanita jangan pernah takut untuk mencoba hal baru, entah itu nanti kedepannya berhasil atau tidak yang penting kita berusaha dari diri sendiri dan ada niat, kemauan untuk mencoba hal baru. Hal–hal positif yang membuat kita berkembang”.


Disambung oleh saudari Kartika bahwa “Segala stigma-stigma buruk yang negatif itu memang benar-benar harus kita tolak, kita sebagai perempuan intinya kita jangan takut untuk berkarya, bagi kita yang sudah bisa mendapatkan pendidikan tinggi maupun teman-teman yang tidak sempat melanjutkan pendidikannya kita juga harus tetap berkarya baik dirumah atau dimanapun berada selagi itu positif.”


Jadi kesimpulan pada diskusi kali ini, bahwa emansipasi wanita versus partiarki bahwa pendidikan itu sangat penting untuk membangun pola piker perempuan baik itu lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya. Kita memiliki kesetaraan antar laki-laki dan perempuan.

Untuk meningkatkan kompetensi diri kita harus memulai dari diri kita sendiri mengembangkan dan mengasah bakat dan minat yang dimiliki.

Dan perempuan itu harus saling mensuport sehingga stigma-stigma buruk yang ada di lingkungan masyarakat bisa kita lawan dengan adanya pembuktian dari bakat dan kompetensi yang sudah kita miliki dan diasah.

Dengan begitu perempuan juga ikut berparitisapasi dalam menyalurkan karya dan menyuarakan suaranya di lingkungan masyarakat. (Red)

Pos terkait