Edukasi Mengenai Kejahatan Siber Oleh Polri Melalui Siber TV

Redaksijakarta.com – Restorative justice masuk agenda penting dalam transformasi Polri yang dilakukan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo lantaran dapat menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di masyarakat.

Berdasarkan Buku “Setapak Perubahan: Catatan Pencapaian Satu Tahun Polri yang Presisi”, keseriusan Polri menerapkan pendekatan restorative justice tidak hanya mereka lakukan lewat penanganan perkara. Saat ini Polri mengeluarkan Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Restorative Justice.

“Untuk mengedukasi masyarakat agar tidak gegabah dan sembarangan berkegiatan di ruang siber adalah menghadirkan Siber TV,” tulis keterangan dalam buku tersebut. 

Upaya tersebut dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dengan mengandalkan platform youtube. Siber TV memproduksi beragam konten audio visual.

Bacaan Lainnya

Konten-konten itu sudah aktif dipublikasi sejak 17 Desember 2021. Topik yang menjadi pembahasan Siber TV tidak pernah jauh dari dunia siber. Edukasi mengenai kejahatan siber pun dilakukan oleh Polri melalui Siber TV.

Penerapan restorative justice sebagai bentuk penyelesaian perkara menjadi salah satu program Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang mendapat atensi publik. Restorative justice sebagai pendekatan baru yang diterapkan Polri dalam menyelesaikan masalah di masyarakat turut mereka terapkan di dunia maya.

Mulai 23 Februari 2021, Polri secara resmi mengoperasikan peringatan virtual polisi atau PVP. Dalam program prioritas kapolri, PVP diluncurkan untuk mengedukasi masyarakat ketika bermedia sosial di ruang siber. Polri melun curkan PVP demi mengimbangi aktivitas masyarakat jagat maya. Saat ini tidak jarang isu-isu yang menjadi sorotan publik muncul dari ruang siber.

PVP yang diluncurkan oleh Polri hadir untuk menciptakan dunia digital yang lebih baik, produktif, dan beretika. Merujuk pendekatan restorative justice yang dilaksanakan oleh Polri, PVP berperan untuk mengirim pesan khusus kepada masyarakat yang mengunggah konten sensitif.

Utamanya yang berpotensi menyebabkan terjadinya tindak pidana. Pesan yang disampaikan lewat PVP berbentuk himbauan dan peringatan. 

Proses pengiriman pesannya melalui verifikasi berlapis dan melibatkan para ahli. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri yang menjalankan PVP menyasar media sosial yang saat ini digandrungi oleh masyarakat.

Diantaranya twitter, facebook, instagram, whatsapp, dan youtube. Sejak pertama kali diluncurkan, PVP sudah menjaring 1.042 konten. Dari angka tersebut 691 lolos verifikasi, 209 tidak lolos verifikasi, dan 142 masih dalam proses verifikasi. Tahun ini, Polri menarget ada peningkatan konten yang diajukan oleh PVP sebesar 50 persen dibanding capaian 2021.

Dalam masa 100 hari kerja Sigit sebagai kapolri, institusi Polri sudah menerapkan pendekatan restorative justice terhadap 1.836 perkara di sejumlah polda dan Bareskrim Polri. Restorative justice masuk agenda penting dalam transformasi Polri yang dilakukan oleh Sigit lantaran dapat menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di masyarakat.

Secara keseluruhan, sepanjang 2021 Polri sudah menangani 11.811 perkara menggunakan pendekatan restorative justice. Sigit memastikan, restorative justice akan terus diberlakukan. Khususnya pada perkara-perkara kecil dan sederhana yang dapat diselesaikan tanpa harus naik ke meja hijau.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol. Agus Andrianto melalui keterangannya, pada April lalu mengatakan, penyidik harus memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum (Ultimum Remidium). Polri, kata dia, harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.

Agus menuturkan, tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif, sebagaimana Pasal 5 Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021, di mana kasus-kasus yang dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif harus memenuhi persyaratan materiil.

Adapun tindak pidana kejahatan yang tidak bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif, seperti, terorisme, pidana terhadap keamanan negara, korupsi dan perkara terhadap nyawa orang, dan juga tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak pada konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak bersifat radikalisme dan separatisme serta bukan pengulangan pelaku tindak pidana berdasarkan putusan Pengadilan. 

Pos terkait