Semarang, Aku Titipkan Keresahan ini di Kotamu!

Suasana Kota Semarang. (Istimewah)

Redaksi Jakarta – Kata penikmat senja, komposisi Semarang dibuat dari semakin rindu dan semakin sayang. Juga bertambah terbuat dari semakin ranum dan semakin hilang…

Lawang Sewu yang memberi makna tentang datang dan pergi dengan pintunya. Kota Lama yang menerjemahkan arti keramahtamahan pada tiap langkahnya…

Sepeninggal masa negeri kincir angin yang abadi beraruskan kanal banjir barat. Hingga Netherlands kerap menyebut kota ini dengan Venesianya Jawa. Lanskap tersebut semakin membentuknya terlihat lama…

akhir masehi di lorong Plampitan terjadi peristiwa penting bagi generasi di suatu hari yang akan datang, tanpa ada yang tahu, ternyata konferensi itu kembali mempertemukan dua insan dari ketidakmungkinan yang pernah terjadi di belakang…

Bacaan Lainnya

kisah yang membeku diantara Semarang dan Kota Hujan tempat awal yang begitu mengesankan kita

wahai Adinda apakah kita dapat percaya tentang peristiwa yang kebetulan? Sedang daun yang jatuh pun telah menjadi ketetapan. Sehingga kita resah dan selalu bertanya-tanya di bawah kecurigaan, apa betul maksud Tuhan terhadap kita berdua?

Segala yang ada di langit dan bumi menjadi urusan-Nya, namun waktu itu kita berani untuk berprasangka agar tetap tenang di balik kerinduan yang teramat sangat, di balik letihnya kita terhadap kefanaan yang tak dapat kita pahami…

Wahai Adinda,

Bagiku terlalu naif jika hanya mengartikan maksud Tuhan sebatas kesempatan menjelaskan yang masih tertinggal, ternyata kau sudah berlari melihat ku tersiksa

Hari-hari yang amat cepat berlalu di Kota ini, aku tidak lagi tertarik bicara siapa benar dan salah, aku hanya ingin menikmati mu detik demi detiknya…

Semarang terlihat sangat jelas 120 menit sebelum kepulangan mu, ketika kita hanya banyak terdiam sembari tertawa kecil menertawakan kebodohan ini…

Malam itu Semarang terlihat begitu lugu, kota ini menjadi saksi tentang ketidaksudahan pertanyaan apakah berada disini untuk mengakhiri dan memulai kembali?

Wahai Adinda, pada akhirnya kalimat yang hanya kuingat tentang keinginanku untuk mengantar mu ke Stasiun Tawang, kataku mungkin untuk terakhir kalinya, pintaku secara sadar melihat bahwa persoalan yang kita hadapi sudah berbeda…

Dalam gerbong bernama Harina kereta malam mu melaju dan aku kembali yang lebih banyak bisu, untuk lebih beberapa jam mengenang kota ini hingga hampir fajar menyingsing…

Wahai Adinda, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mu, aku mendo’akan keselamatan mu terlepas protesmu tentang ibadah ku dan dari mata yang sayu subuh itu…

Dan dari kalimat yang kau lontarkan, apakah kita dapat berjumpa lagi di lain waktu?

Wahai Adinda, mungkin Stasiun Tawang menjadi tempat terakhir pertemuan, mungkin sajak ini, ku tulis dari dingin malam Waykanan yang tak biasa, memberikan sebuah pesan bahwa engkau mengetahui apa yang harus dilakukan bila do’a kita terlihat memungkinkan…

Wahai Adinda, air mata yang jatuh dari titik kepulangan kita masing-masing, yang setara dengan kesedihan kehilangan orang yang berharga, menjadi puncak rahasia terhubungnya rasa dan rumitnya kita…

Wahai Semarang, aku titipkan keresahan ini di sudut kota. Terimakasih telah mempertemukan.

ISRAPeserta P2P Bawaslu RI Semarang

Pos terkait