FPRA: Pelantikan Mualem Seharusnya Tidak Dilakukan

Redaksi Jakarta – Forum Peduli Rakyat Aceh (FPRA), Muzakir Manaf (Mualem) seharusnya tidak dilantik sebagai wakil wali Nanggroe, tentunya ini terkesan Mualem dan Malik Mahmud Al-haytar telah mencampur adukkan peranan lembaga wali nanggroe sebagai lembaga adat dan merupakan salah satu kekhususan Aceh.

Dimana kita tahu Mualem sebagai ketua umum di salah satu partai politik, tentu hal dikhawatirkan akan terjadi conflict of interest sehingga Lembaga ini tidak berjalan sesuai dengan apa yang dicita-citakan, kata Reza Hendra Putra selaku ketua bidang Hukum Dan Politik, pada Selasa (27/12)

Kemudian juga perlu dikaji Kembali, karena posisi Mualem dengan posisi jabatan sekarang ada dibeberapa lembaga lain bukan hanya Ketua Parpol. Kalau pun pelantikan tersebut sudah dilakukan maka Mualem ada diposisi yang mana? Waliyul’ahdi atau wakil wali Nanggroe? Ini perlu diperjelas kepada publik agar masyarakat Aceh bangga mempunyai lembaga Wali Nanggroe yang jelas peruntukannya.

Sebagaimana kita ketahui Lembaga wali nanggro adalah sebuah lembaga yang mengatur kepemimpinan adat di Aceh. Lembaga ini bertindak sebagai pemersatu masyarakat Aceh dibawah prinsip-prinsip yang independen.

Bacaan Lainnya

Lembaga Wali Nanggroe juga memangku kewibawaan dan kewenangan dalam membina serta mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, upacara-upacara adat, serta melaksanakan penganugerahan gelar/derajat kehormatan. Lembaga ini juga bertindak sebagai pembina kehormatan, adat, tradisi sejarah, dan tamadun Aceh.

Maka kita berharap Jangan sampai lembaga wali Nanggroe terkesan dijadikan sebagai alat politik sarana dalam mencari suara dalam konstestasi politik, indepedensi Lembaga Wali nanggroe harus dijaga kerena itu adalah amanah dari kesepakatan damai (MoU Helsinki). Mengenai ketentuan LWN tercantum di dalam poin 1.1.7. MoU Helsinki.

Amanah tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta pasal 96 ayat (4) dan Pasal 97 tentang Wali Nanggroe. sebut Kata Reza.

Kemudian kebijakan yang telah diambil tentu bahaya secara politik, potensi conflict of interest sangat rawan terjadi, dan tidak etis apalagi apalagi berada di struktural penting pada lembaga Wali Nanggroe. Tentu dikhawatirkan lembaga wali nanggroe tidak lagi independen dalam merealisasikan program-programnya dan mengakomodir persoalan adat istiadat di Aceh.

Tentunya keterlibatan Mualem dalam jabatan struktural wali nanggroe akan berdampak pada cita-cita awal terbentuk lembaga adat tersebut. Lebih baik Mualem tetap sebagai ketua partai saja dan fokus pada kerja-kerja politiknya, agar Lembaga wali nanggroe tidak terkontaminasi dengan kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan Lembaga adat ini , tentu kita semua berharap untuk kemajuan Aceh kedepannya. Tutupnya[]

Pos terkait