Tegas Laskar Betawi Tolak Wacana Penggunaan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

Pemilu

Redaksi Jakarta – Wacana akan dikembalikannya sistem pemilu indonesia ke sistem proporsional tertutup menyita atensi publik. Public sphere dipenuhi oleh diskursus tentang komparasi sistem proporsional terbuka dan tertutup.

Seperti biasa publik terbelah namun dalam konteks issue ini sepertinya mayoritas masyarakat menginginkan pemilu khususnya pemilu legislatif (PILEG) tetap dilaksanakan menggunakan metode proporsional terbuka.

Laskar betawi sebagai bagian dari civil society yang notabene adalah juga pilar demokrasi merasa perlu untuk menyampaikan pendapatnya ke publik. Laskar betawi merasa gelombang demokratisasi pada era reformasi ini merupakan hal yang sangat fundamental untuk lahirnya ekosistem civil society yang partisipatif.

Dengan itu prinsip prinsip demokratisasi seperti freedom to be free , human right, kedaulatan rakyat atau kedaulatan sipil harus  terus dipertahankan sebagai kaidah sumber hukum.

Bacaan Lainnya

Sistem proporsional tertutup yang sedang di usul kan  bahkan mulanya diwacanakan oleh 2 partai terbesar, namun gerindra merubah pendiriannya dan mendukung proporsional terbuka, wacana ini cukup membuat gaduh publik.

PDIP adalah satu satunya partai yang masih bersikukuh  menginginkan  PILEG kembali diselenggarakan  dengan sistem tersebut. Argumentasi mereka proporsional terbuka terlalu bergaya liberal dan berdampak pada high cost democracy. Reasoning yang harus diuji validitasnya.

Pengertian sederhana terhadap sistem proporsional terbuka adalah  sistem ini memposisikan rakyat memilih sendiri calon legislatif (DPR RI, DPRD) dan penentuan siapa anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak. sedangkan sistem proporsional tertutup adalah sebuah sistem yang lebih menekankan sistem representatif kepada parpol yang dengan alasan perwakilan itu suara rakyat akan dialokasikan untuk calon dengan no urut yang sudah di tetapkan oleh partai. Artinya penentuan siapa yang menjadi anggota legislatif terletak pada no urut bukan suara terbanyak.

Berikut akan terlebih dahulu diuraikan kedua sisi baik positif maupun negatif dari kedua metode sistem pemilihan tersebut.

Sisi positif dari metode proporsional tertutup, metode ini adalah sistem perwakilan yang sederhana,simple dan sangat mudah dilaksanakan.

Rakyat memilih partai dan partai memilih orang yang akan mewakili rakyat dan partai diparlemen. Dengan kesederhanaannya maka sistem ini cenderung lebih hemat, low cost democracy. Sistem ini juga meminimalisir konflik ditataran grass root yang mungkin timbul dari kompetisi antar para elit calon legislatif.

Kompetisi dalam sistem tertutup terjadi behind the scene. Medan Pertarungan para elit berada di dalam dinamika partai dalam menentukan siapa yang akan menjadi wakil diaprlemen. Maka ketika era orde baru, platform pembangunan orba yang dimulai dengan menciptakan stabilitas politik sangat compatible dengan sistem ini.

Sistem ini juga memiliki dampak positif bagi proses kaderiasasi dipartai, bagi pihak external akan sangat sulit mendapatkan rekomendasi partai untuk penugasan di lembaga negara. Hal ini bisa menguatkan institusionalisasi partai politik.

Sisi negatif sistem ini adalah direbutnya daulat dari tangan rakyat. Representasi suara rakyat yang diberikan secara akumulatif kepada partai akhirnya menciptakan distorsi pada pelaksanaan prinsip daulat rakyat. Partai kemudian menjelma jadi alat politik para elit  untuk mewujudkan personal interest mereka dan akhirnya malah menegasikan suara rakyat. Kuadran negatif dari sistem ini juga terletak pada lemahnya keterkaitan dan keterikatan antara wakil dan yang diwakili.lemahnya ikatan ini akan menghambat penyaluran aspirasi  dari rakyat kepada wakilnya diparlemen. Dengan sistem ini akan terjadi hegemoni elit atas rakyat.

Rakyat kehilangan kuasanya tepat ketika selesai memilih partai. Semenjak saat itu kedaulatan berpindah tangan ke partai politik, yang akan berlaku adalah daulat partai politik, daulat elit dan penguasa.

Beralih ke sistem proporsional terbuka, di lihat dari segi benefitnya aplikasi sistem proporsional terbuka adalah sistem ini  sangat asosiatif dengan prinsip kedaulatan rakyat.  dalam prakteknya Partai tetap diberikan wewenang menyusun para kandidat legislatif namun at the end rakyat yang menentukan siapa yang berhak mewakili mereka di daerah pemilihan tersebut.

Hal ini juga membuka kesempatan yang sama bagi para caleg untuk dapat terpilih ,disini sisi dari kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dapat terwujud. Rakyat juga akan di untungkan dengan kompetisi yang dihadirkan para caleg, layaknya dalam dimensi ekonomi persaingan antar pelaku ekonomi akan menguntungkan konsumen, begitu juga kompetisi para caleg akan menguntungkan rakyat, karen para calon akan berlomba lomba memenangkan hati rakyat dengan intensitas sosialisasi yang tinggi dan kontribusi nyata untuk rakyat.

Terbukanya persaingan dalam sistem ini juga akan memicu kegiatan ekonomi rakyat. Perangkat kampanye seperti alat peraga dan berbagai macam bentuk advertising untuk membangun personal branding akan memicu demand bagi pelaku usaha.

Dalam sistem politik yang terbuka pesta demokrasi juga dijadikan stimulan bagi lesunya perekonomian. Disisi lain sistem ini juga sangat akomodatif terhadap orang orang yang memiliki potensi dan integritas namun tidak aktif di partai politik. Peluang para external partai terbuka lebar dalam aistem ini sehingga sistem ini juga mewujudkan oerlindungan hak asasi di sektor politik yaitu hak untuk dipilih dan memilih.

Belum lagi engagement dan bounding antara rakyat dan wakilnya bisa lebih rekat, karena para caleg akan termotifasi membangun hubungan emosional dengan para konsituennya. tentunya minimnya jarak antara rakyat dan elit akan berefek positif dalam proses pelembagaan aspirasi rakyat  di parlemen.

Sedangkan Sisi negatif dari proporsional terbuka pertama membuat terjadinya high cost democracy. Dukungan logistik dalam pertarungan proporsional ini masuk sebagai salah satu penebtu kemenangan kalau bukan yang utama.

Kebutuhan akan dana tak lepas dari kebutuhan operasional yang tinggi. Setiap acara sosialisasi tentu akan menghabiskan puluhan juta rupiah. Ini baru dengan jumlah massa puluhan. Untuk menggapai sasaran setidaknya jumlah suara minimal yang dijadikan target untuk bisa terpilih, Maka akan muncul angka yang lumayan besar yang bisa mem buat kita mengernyitkan dahi.

Argumentasi bahwa sistem terbuka ini membuat biaya politik membungbung tinggi bisa dibenarkan .Belum lagi diujung akan ada para elit yang mencoba jalur instan, ya dengan membeli suara rakyat. Dengan keadaan ekonomi yang pas pasan uang beli suara itu jadi sesuatu menggiurkan untuk rakyat. Jadilah praktek money politic menjamur setiap pesta demokrasi digelar. Ini merusak mental rakyat , dengan ini rakyat akan memiliki mental pragmatis dan transaksional. Dan tentu harus menjadi concern seluruh entitas bangsa ini agar diupayakan adanya perbaikan perbaikan yang signifikan.

Uraian tentang sisi negatif dan positif dari kedua sistem diatas setidaknya mampu mengilustrasikan gambaran umum tentang kedua sistem tersebut. Dari sisi perbandingan manfaat dan mudharat, terlihat bahwa sistem proporsional terbuka memiliki lebih banyak efek positif yang berdampak secara multiplier effect.

Menilai mana sistem yang lebih cocok diterapkan antara sistem proporsional baik terbuka maupun tertutup, tentunya harus di tinjau dari hal yang paling mendasar, yaitu principle approach, pendekatan dasar atau azas tentu sangat diperlukan. Azas adalah pedoman dasar bagi suatu sistem.

Prinsip tertinggi demokrasi adalah daulat rakyat. Seperti abraham lincoln katakan Demokrasi adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Demokrasi adalah alat untuk mewujudkan kekuasaan rakyat. Maka tentu mekanisme demokrasi harus kongruen dengan tujuan utama itu. Jangan sampai cara menjauhkan bangsa ini dari tujuan yang ingin dicapai.

Ditinjau dari prespektif prinsip daulat rakyat, sistem proporsional terbuka memposisikan  partai politik hanya untuk menyajikan  pilihan calon anggota parlemen yang terbaik untuk kemudian dipililh  oleh rakyat yang menjadi konstitiennya. Sistem ini memposisikan rakyat menjadi pemilik sah demokrasi.

Kedaulatan rakyat sejatinya adalah bagaimana rakyat bisa membuat keputusan politiknya sendiri khususnya  menentukan pemimpin yang akan menentukan nasib dan masa depannya juga. Dalam sistem terbuka ini partai politik sudah secara proper memainkan tugasnya sebagai pilar demokrasi.

Dalam prakteknya juga partai politik sebagai wadah rakyat dalam bersuara tetap mendapatkan  kewenangan yaitu menentukan siapa saja yang akan bertarung dalam pemilu. Namun ketika hidangan telah dihadirkan, berakhirlah kuasa partai politik dan beralih kepada kuasa sang pemilik resmi kekuasaan yaitu rakyat. Vox populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara tuhan.

Beralih ke sistem proporsional tertutup. Dalam sistem ini rakyat hanya diberikan hak untuk memilih partai. Dengan memilih partai seakan rakyat telah memberikan seluruh kewenangan dan haknya kepada partai politik untuk menentukan siapa orang yang mengisi parlemen, menggantinya kalau di rasa perlu, dan mengarahkan para anggota untuk membuat aturan yang sesuai dengan kebijakan partai.

Dominasi bahkan monopoli kuasa oleh partai dalam sistem ini membuat seakan demokrasi hadir untuk partai, bukannya seperti idealnya yaitu partai hadir untuk demokrasi. Oligarki partai akan semakin kentara dan menggurita. Dari sisi yang paling substansial tentunya sudah sangat terang benderang bahhwa sistem pemilihan dengan metode proporsional terbuka lebih memenuhi unsur unsur daulat rakyat sebagai the deepest fondation for democracy bulding structure.

Maka dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa dengan pendekatan prinsip demokrasi, sistem proporsional terbuka lebih merepresntasikan kedaulatan rakyat dibanding  dengan sistem proporsional tertutup . Dengan kata lain sistem proporsional terbuka secara esensial lebih demokratis.

Alasan pergantian ke sistem proporsional terbuka yaitu bahwa sistem proporsional terbuka terlalu bernuansa liberal sehingga kurang sesuai dengan pancasila dan menghasilkan politik yang high cost kiranya perlu diuji kebenarannya. Asumsi sistem proporsional terbuka  bertentangan dengan pancasila kiranya harus didudukan dengan menyamakan terlebih dahulu tafsir pancasila yang digunakan ,sehingga hasil diskursus  akan objektif dan mencapai titik temu.

Pancasila sebagai way of life, sebagai pilosopische grondslag, memiliki arti yang sangat luas sehingga memiliki ruang intepretasi yang sangat lapang. Maka menjadikan pancasila sebagai dasar argumentasi pemilihan sistem pemilihan yang praktis harus disertai runtut berfikir yang memadai. Tentu runtut itu akan koheren apabila sudah ada break down mengenai indikator yang dijadikan acuan untuk mengukur apakah sesuatu seuai ataukah bertentangan dengan pancasila.

Upaya menafsirkan pancasila sudah pernah dilakukan oleh orde lama dan orde baru.Jikalau kita menggunakan Pengertian pancasila versi orla atau bung karno  yang memang dijadikan patokan oleh PDIP yang notabene adalah partai yang mengusulkan pemberlakuan sistem pileg dengan format proporsional tertutup, tentunya ini akan menimbulkan konsekwensi yang cukup dilematis.

Perlu diingat bung karno membubarkan dewan konstituante yang merupakan produk dari pemilu langsung di tahun 55 dan juga mengembalikan uuds 1950 yang mengadopsi sistem pemilu langsung ke UUD 45 yang tidak mengatur mekanisme demokrasi secara detail. Dengan adanya dekrit tersebut diberlakukanlah demokrasi terpimpin yang merupakan tafsir bung karno terhadap sistem politik yang sesuai dengan pancasila.

Dengan menjadikan tafsir pancasila versi bung karno maka tidak hanya bicara tentang sistem pemilihannya yang bertentangan dengan pancasila, namun Sistem pemilhan langsung baik presiden, kepala daerah dan pemilihan legislatif yang berlaku akan dianggap bertentangan dengan pancasila, tentu  persoalan  ini akan menjadi semakin pelik dan problematik.karena sulit untuk dibantah kiranya, bahwa demokrasi terpemimpin bung karno syarat akan praktek otoritatian.

Demokrasi ala sukarno terkesan lebih dekat dengan intepretasi sosialis komunis terhadap demokrasi. Tak heran karena sukarno pernah menyarankan praktek mono kameral atau partai tunggual sebagai partai pelopor, yang mana sangat similiar dengan mekanisme demokrasi ala marxsisme- leninisme. Wacana partai tunggal itu ditentang keras oleh duet bung karno sebagai proklmator, bung hatta.

Sebagai bentuk perlawanan bung hatta mengeluarkan maklumat X wakil presiden tentang pembentukan partai partai dalam skema multi partai.

Di tinjau dari zaman dan kebutuhan bangsa saat ini maka sebagian besar tafsir pancasila sukarno sudah tidak relevan lagi, walau spirit tentang nasionalismenya tetap layak dikobarkan.

Pergeseran intepretasi terhadap pancasila terjadi secara radikal Setelah otoritarian orba mengantarkan bangsa ini ke jurang resesi yang begitu dalam yang sekaligus menjadi faktor utama tumbangnya pak harto, yang mana hal ini setali tiga uang dengan akhir orde lama.

Akhir yang sad ending bagi dua orde tersebut menyisahkan ironi. Selalu menggunakan istilah istilah yang pancasilais namun diakhir diturunkan karena dianggap menyeleweng dari pancasila itu sendiri.

Dengan lengsernya pak harto bangsa ini akhirnya menyadari adanya pengertian pengertian yang keliru dari intepretasi pancasila di dalam dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Angin perubahan yang bertiup dalam era reformasi membuat upaya Breakdown pancasila dimaknai secara lebih inklusif dan permisif.

Orde reformasi meletakan demokratisasi yang bertumpu pada kebebasan dan perlindungan pada human right sebagai indikator dari implementasi pancasila. Istilahnya freedom to be free menjadi agenda utama Amanah reformasi, inilah yang mengarahkan perubahan yang fundamental bagi sistem politik indonesia.

Cita cita reformasi juga dianggap sebagai new wave dari intepretasi terhadap pancasila.apabila mahzab Frankfurt menelurkan pengertian dan tafsir baru untuk ideologi – ideologi mainstream seperti neo nasi, neo komunisme, maka era reformasi menghasilkan neo pancasila, pengertian dan tafsir baru bagi ideologi negara.Dengan intepretasi pancasila yang lebih faktual di era reformasi maka kiranya tafsir pancasila teranyar lah yang lebih relevan digunakan dalam menilai apakah sesuatu bertentangan dengan pancasila atau tidak.

Tafsir pancasila yang lebih permisif dan

inklusif tentu menjadikan bangsa ini lebih open minded terhadap datangnya gelombag perubahan. Mengadopsi sistem berpolitik dari negara negara liberal pun sebenarnya bukan hal yang tabu dan bertentangan, bahkan bung karno pun pernah menyatakan dalam sidang PBB bahwa pancasila mengandung anasir anasir yang dilhami oleh declaration of indepentnya amerika serikat.

Dari pidato itu bangsa ini harus menyadari bahwa darimanapun kebenaran itu berasal maka kebenaran itu tetaplah menjadi kebenaran, itulah recht idea dari pancasila. So dengan kerangka berfikir ini maka tak ada salahnya menggunakan sistem berpolitik yang liberal selama sudah ada kajian mendalam tentang baik buruknya sistem tersebut dan tentunya penyesuaian dengan keadaan dan culture bangsa ini.

Demokratisasi yang berlaku sekarang di indonesia selangkah demi selangkah mulai menemukan pakem yang ajeg. Rasa rasanya mekanisme general election yang kita terapkan merupakan yang terbaik yang bisa kita terapkan sekarang.

Penggunaan sistem proporsional  terbuka yang telah diberlakukan dibeberapa pemilu lalu walau masih banyak ekses dan kekurangan dikanan kiri telah meletakan posisi rakyat sebagai pemilik sah republik ini.

Makin hari kedewasaan politik rakyat mulai tertanam dengan baik. Dan hebatnya partisipasi rakyat Indonesia dalam pemilu langsung dianggap sangat tinggi, dinpemilu 2019, lebih dari 80 % rakyat yang telah memiliki hak untuk memilih menggunakan haknya. Angka yang terbilang fantastis.

Tentu ini  tak terlepas dari sistem proporsional terbuka yang menjadikan rakyat sebagai penentu hasil pemilu, sehingga rakyat memiliki sense of belonging yang kuat terhadap proses pemilu dan juga hasilnya.

Tentu tak ada sistem apapun didunia yang tanpa celah. Produk manusia pasti mempunyai celah kekurangan persis seperti manusia yang tak bisa sempurna. Maka ekses dari demokratisasi di era reformasi ini tentu tak dapat di tolak.

Mulai dari Demokrasi yang masih bertumpu pada sisi prosedural dan jauh meninggalkan sisi substansial, demokrasi yang seakan menjelma menjadi kleptokrasi dimana para elit saling menjatuhkan hanya untuk menikmati manisnya kekuasaan dan setelah itu merampok uang rakyat, korupsi disana sini terjadi bagai jadi ritual pasti, ekses ini  bak anak haram demokratisasi yang tak pernah diharapkan hadir, namun faktanya eksis.

Bagaimana pun itu, ekses yang terjadi tidak dapat dijadikan alasan untuk merubah haluan. Selama benefit yang dihasilkan lebih dominan maka bangsa ini hanya Perlu perbaikan yang gradual dan konsisten dalam proses penyempurnaan demokratisasi ini, menjadikannya ekses yang tidak dominan sebagai alasan untuk berputar haluan tidak dapat dibenarkan.

Bangsa ini butuh waktu berbenah demokratisasi yang dijalankan harus terus dikawal dan sitingkatkan. Penetapan sistem proporsional terbuka harus tetap dipertahankan karena memang sistem inilah sistem yang terbaik untuk diterapkan saat ini. Laskar betawi dengan ini menyatakan dengan lantang dan tegas menolak wacana penggunaan sistem proporsional tertutup dengan argumen yang ada dalam essai ini.

Perkara banyak efek negatif, bangsa ini harus insyaf bahwa 2 orde terdahulu gagal membumikan pancasila di ibu pertiwi. Bahkan secara khusus Demokrasi orde Baru yang menggunakan sistem yang serupa yaitu proporsional tertutup, dalam prakteknya mencerabut kedaulatan rakyat sampai ke akar akarnya. Kegagalan orde baru kiranya adalah pembelajaran  yang sangat mahal untuk bangsa indonesia. Mengulang kekeliruan itu niscaya adalah sebuah kebodohan.

Muhammmad Awab Zimah

Fungsionaris Laskar Betawi

Pos terkait