Menenun Tasawuf Profetik Merajut Tasawuf Inklusif

The New Paradigm

Mungkin pembaca merasa asing dengan tema yang di sugukan penulis, iya benar, sebab mungkin hal baru selalu akan di pertanyakan. Dengan rasa tawadu dan ikhtiar yang tinggi penulus mencoba menawarkan sebuah paradigma yang di saring dari berbagai perbandingan epistemologi gerakan pembaruan dalam teologi keagamaan.

Sepanjang lintasan sejarah, perdebatan tentang tasawuf atau ilmu kebatinan terutama di kalangan islam masih berfokus pada aspek semantik. Di karenakan bagi kalangan islam tradisional teologi di artikulasikan sebagai ilmu qalam, yakni suatu disiplin ilmu untuk membuka tabir ketuhanan, bersifat abstrak, normative, dan skolastik.

Di sisi lain teruntuk mereka yang mendalami tradisi paradigma barat, para pemikir muslim tersebut tidak mempelajari islam dari disiplin ilmu formal sehingga berimplikasi pada paham tasawuf sebagai interpretasi terhadap realitas dalam kerangka ketuhanan, oleh karenanya lebih mengarah kepada gerakan-gerakan empiris.

Bacaan Lainnya

Dari case di atas kita dapat memotret satu gambaran bahwa kaum tradisional lebih mengarahkan pemahamannya pada upaya untuk melakukan gerakan-normatif, di lain sisi kaum cendekiawan muslim yang hidup dalam tradisi barat justru mengarahkan pemahamannya pada Gerakan potensial-aktual dan empiris.

Dari dua percabangan ini penulis melihat bahwa paradigma dari pihak kedua sangatlah perlu untuk di rumuskan sebagai suatu gerakan tasawuf baru yang berkelindang dengan tasawuf transformative.

 Melacak Akar Masalah

Sebenarnya gagasan transformatif di dalam islam bukanlah hal baru, sebut saja Moeslim Abdurrahman seorang cendekiawan muslim Indonesia, yang menyelesaikan study akhir Doctoral Antropologi University Of Illionis, Urbana USAyang sangat terpengaruh oleh tradisi barat telah menggerakkan teologi transformative sebagai suatu kritik yang terarah kepada teologi-teologi tradisonal yang di anggap tidak lagi relevan sehingga penting untuk di transformasikan ke aspek yang lebih humanis sosiologis.

Hal inilah yang di nilai memicu penolakan keras dari pihak tradisional sehingga melahirkan diskursus yang cenderung semantic dan kusir.

Sebagaimana paparan penulis di atas, di kalangan islam paradigma tentang tasawuf selalu di freaming secara berbeda-beda. Sebagian besar mengartikulasikan konsep tersebut sebagai suatu khazanah ilmu pengetahuan islam yang menekankan pada doktrin tentang ketuhanan, tauhid.

Oleh karenanya, mereka beranggapan bahwa paradigma mengenai pembaharuan atau transformasi taswuf merupakan paradigma yang aneh dan membingungkan, sebab hal itu akan berimplikasi kepada bergesernya doktrin-doktrin fundamental dalam islam terlebih tasawuf itu sendiri mengenai kesatuan, ketunggalan, dan ketauhidan Allah swt.

Dikarenakan ada anggapan bahwa metode tasawuf sudah diletakkan jalan-jalan ketauhidannya menuju peleburan pencipta dan ciptaan oleh karenanya persoalan ini sudah dianggap selesai, dan bebas dari tindakan rekonsepsi.

Di sinilah titik-tolak kesalahpahaman terjadi. Para penganjur pembaruan tasawuf jelas tidak bermaksud seperti itu. Berangakat dari tradisi pemikiran barat, mereka mengartikan pembaruan tasawuf sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang bersifat empiris menurut perspektif ketuhanan. Apa yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin sebagaimana yang ditakutkan akan tetapi hanyalah mengubah interpretasi terhadapnya.

Jadi, tidak seperti yang di tuduhkan oleh kalangan yang pertama, mereka hanya menginginkan agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Maka dengan ini suatu konsensus universal telah membuka kesadaran kita untuk melakukan transformasi tasawuf ke arah yang lebih sosiologis obyektif dari pada yang bersifat normative, pasif belaka.

Penulis berpandangan bahwa salah satu instrument yang dapat menghubungkan tasawuf ke arah yang lebih sosiologis obyektif yakni menggunakan instrument teori social, dengan demikian kita mampu melakukan rekayasa transformasi social ke arah tasawuf melalui ucapan, tindakan, serta ibadah social yang lebih humanis.

Di lain sisi pula dengan teori social, kita dapat mengkonfersi metode kita ke arah yang lebih empiris, historis, temporal, maupun rasional.

 Tasawuf Profetik

kecenderungan tasawuf yang lebih mengarah kepada prilaku sufistik, mistikus yang memberikan citra jauh dari pribadi yang mampu menjawab problematika social (Social Solution), padahal kita tau bahwa sebaik-baiknya pahala individu lebih bernilai pahala sosial, dan seburuk-buruknya dosa individu maka lebih buruk lagi dosa social.

Sebagaimana penulis mengkontekstualisasikan ibadah social yang sesuai dengan Q.S Al-Isra Ayat 26-31 : “adalah saling membantu (tolong-menolong) yakni membantu keluarga dekat dan orang-orang yang tidak mampu seperti orang miskin dan ibnu sabil baik bantuan dalam bentuk materi maupun immateri. Dan jika tidak bisa memberikan bantuan maka ucapkan dengan perkataan yang baik, yakni dengan perkataan yang lemah lembut, ramah dan sopan.” Sekali lagi untuk menjawab itu semua yang kita butuhkan adalah instrument ilmu social profetik yang penulis konversikan sebagai tasawuf profetik, yaitu tasawuf yang tidak saja mendeskripsikan dan mengubah fenomena social tapi juga memberikan petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan. Untuk apa dan oleh siapa.

Oleh sebeb itu tasawuf profetik tidak saja mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik, ialah cita-cita yang diidamkan masyarakat (Masyarakat Paripurna).

Tidak sejalan dengan Muhammad Iqbal yang memotret Nabi Muhammad saw dalam peristiwa mi’rajsebagai seorang sufi belaka, di karenakan Nabi hanya dipandang telah melakukan suatu perjalanan peleburan dengan Tuhan. Hal ini keliru, sebab secara hirarkis Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan social, dan merekayasa jalannya sejarah.

Inilah yang penulis identikkan Nabi sebagai sufisme profetik yang telah melakukan gerak Transendensi, menuju pembebasan Liberasi, dan mewujudkan cita humanisasi (emansipasi). Sebagaimana yang terkandung dalam Q.S Ali ‘Imran ayat 110 : “Engkau adalah ummat terbaik yang di turunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah.”

Tujuan humanisasi ialah memanusiakan manusia. Realitas membuktikan bahwa kita di kungkung dalam jeruji humanisasi bertransformasi ke dalam manusia industrial dan menjadikan kita sebagai masyarakat yang kabur tanpa wajah kemanusiaan, keillahian.

Tujuan liberasi adalah pembebasan ummat dari penindasan kolonialisme, kapitalisme, kerakusan globalisasi, dan pemaksaan westernisasi, serta mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Sedang tujuan Transendensi yaitu menghidupkan kembali dimensi transcendental yang merupakan ketunggalan fitrah kemanusiaan. Dimna kita ingin hidup di dalam dunia yang ditenun dengan asma ketuhanan arrahman-arrahim (cinta kasih-sayang).

 

Tasawuf Inklusif

Tasawuf haruslah diimplementasikan sebagai paradigma yang terbuka, bahwa kita mewarisi sebuah sejarah peradaban manusia secara universal itu adalah keniscayaan. Oleh sebabnya bersikap diskriminasi, membeda-bedakan (diferensiasi) hanyalah akan mengarahkan kita ke tindakan eksklusif. Hampir seluruhnya peradaban agama-agama samawi dan non samawi mengalamai proses meminjam dan memberi dalam seluruh perpapasan mereka antara satu sama lain sepanjang sejarah.

Oleh sebab itu sikap eksklusif hampir tidak mendapat tempat dalam bermacam aliran ajaran keagamaan sesb perbuatan itu justru a-historis, dan tidak realistis, sufisme yang eksklusif ialah sufisme yang terbata membaca sejarah. Meminjam perkataan Allahuyarham Nur Cholis Majid, umat islam haruslah bergerak dari islam rumahan menuju islam alam semesta.

Tasawuf inklusif mengajarkan kita untuk mengosongkan ritual-ritual kamar dan meramaikan masjid, masjid tidak hanya dipandang sebagai candi-candi islam akan tetapi masjid haruslah memberikan kemakmuran dan mensejahterahkan masyarakat. Masjid haruslah dijadikan basis perlawanan kekuasaan politik yang zalim.

Demikianlah maksud dari paradigma tasawuf profetik menuju tasawuf inklusif yang hendak disampaikan penulis yang penuh dengan kehati-hatian.

Untuk menyudahi tulisan ini saya ingin mengatakan ‘jikalah engkau ingin melihat wajah Tuhan, maka lihatlah diantara wajahnya kaum Mustadhafin’. ‘Pembaca ialah raja sedang penulis hanyalah selir yang menuangkan anggur didalam cawan emas’

 wallahu a’lam bishawab

 Tidore, 10 Februari 2023

 M. Agung Djafar

Pos terkait