Uji Nyali Negara Ditanah Papua, Segera Berlakukan Darurat Sipil

BEM-I
BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA-INDONESIA (BEM-I)

Oleh:

YASER HATIM

KOORDINATOR PRESIDIUM BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA-INDONESIA

Redaksi Jakarta – Pernyataan sekaligus usulan Loedwick Wakil Ketua DPR RI (Sekjend Partai Golkar) agar Pemerintah segera memberlakukan “Darurat Sipil” di Papua merupakan suatu terobosan solusi yang selama ini oleh pemerintah yang sedang berkuasa dianggap Tabu dan ditakuti menjadi sasaran pegiat HAM dan Demokrasi.

Bacaan Lainnya

Eskalasi gerakan separatis Papua merdeka (OPM) semakin meningkat dan membahayakan keselamatan warga negara, kedaulatan negara dan keutuhan bangsa Indonesia. Pasca pemberlakuan otonomi khusus untuk Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) kurang lebih 20 tahun tidak banyak perubahan yang terjadi di tanah Papua, baik pembangunan infrastruktur maupun sumberdaya manusianya.

Walhasil banyak penyimpangan dan penyelewengan serta penyalahgunaan yang dilakukan oleh para pejabat Papua. Hampir tidak ada yang menonjol dalam pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemda Papua, sedangkan pembangunan SDM justru menjadi Boomerang untuk pemerintah dan negara.

Penyimpangan dana Otsus banyak diduga untuk pembiayaan gerakan separatis di Papua. Munculnya kasus pembakaran pesawat Susi air dan penyanderaan pilot serta penumpang oleh Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM) merupakan puncak dari ketidakberdayaan negara dihadapan gerakan separatis Papua.

Tidak sampai disitu warga sipil distrik paro, Nduga juga sudah minta evakuasi ketempat yang lebih aman karena sudah terancam keselamatannya. Sebagai negara berdaulat dan sah Dimata Internasional sudah saatnya negara dengan segala perangkatnya menghancurkan gerakan separatis dari tanah air untuk mewujudkan kondusifitas dan stabilitas nasional jangan sampai Indonesia lemah dimata negeri sendiri dan Dimata Internasional.

Mengingat situasi dan kondisi pasca pandemi negara-negara didunia saling mengamankan kepentingan nasionalnya (national interest) dinegara lain apalagi dinegara sendiri. Ada beberapa alasan urgensi pemberlakuan darurat sipil di tanah Papua.

Konflik dan ketidakpastian Global pasca pandemi covid-19

Perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan seakan-akan membuat negara-negara barat (Amerika dan NATO) tidak berkutik. Hal tersebut dikarenakan negara Rusia menjadi dinamisator dunia dengan segala kemampuan, kekuatan dan pengaruhnya Dimata Internasional.

Alasan Rusia menyerang Ukraina bukan hanya karena Ukraina akan dijadikan negara satelit/proxy NATO yang mengancam kedaulatan Rusia, tetapi juga dikarenakan national interest Rusia yang bersikukuh menyelamatkan warga negaranya diukraina yang terancam pemerintahan zelensky.

Ironinya apabila kita bandingkan negara Indonesia dengan persoalan separatis Papua, sungguh sangat miris dan memprihatinkan karena negara seharusnya bisa tegas demi mengamankan kepentingan nasionalnya, menjaga kedaulatan serta keselamatan warga negara dan keutuhan bangsa dengan memberlakukan darurat sipil untuk memberantas seluruh gerakan separatis dan makar yang sudah mengakar dan merajalela.

Transisi kekuasaan Tahun 2024, Pemerintah lelah, Negara lemah, Rakyat Resah Dimata Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi  Papua Merdeka (TPNBP-OPM)

Hiruk pikuk kandidasi capres-cawapres, caleg dan Cakada dalam Pemilu serentak tahun 2024 dianggap sebagai peluang dan celah Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM) melancarkan aksinya dengan meningkatkan eskalasi teror.

Sebelumnya gerakan teror separatis Papua dilakukan terhadap pos-pos TNI-POLRI yang dianggap lemah, aparat TNI-POLRI yang sedang patroli, pembakaran fasilitas umum dan fasilitas sosial bahkan membunuh pekerja-pekerja proyek pembangunan pemerintah pusat dan daerah.

Aksi kali ini sudah sangat menodai Marwah dan martabat bangsa dan negara Indonesia, karena sudah dapat dipastikan pemerintah pusat selalu mengedepankan penegakan hukum karena dianggap kriminal biasa, padahal sudah sangat jelas dan meyakinkan hal tersebut sebagai bentuk terorisme dan makar terhadap negara yang berdaulat dan merdeka.

Pendekatan yang harus dilakukan pemerintah pusat harus ditingkatkan satu level dengan mengeluarkan status darurat sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Sudah sangat memungkinkan regulasi tersebut digunakan dan pernah dilakukan pada era Presiden Megawati Soekarno Putri yang satu level lebih tinggi tingkatannya dengan menerapkan status daerah operasi militer untuk provinsi Aceh pada tahun 2003, yakni Keppres tentang pernyataan keadaan bahaya dengan tingkatan status daerah operasi militer di provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Keputusan pemberlakuan status pernyataan keadaan bahaya saat ini memang menjadi kewenangan presiden karena Indonesia belum memiliki Sistem Keamanan Nasional (SISKAMNAS) yang mumpuni dengan melibatkan National Security Advisor sehingga keputusan pernyataan keadaan bahaya menjadi keputusan negara bukan personal presiden yang apabila dikemudian hari rawan dipersoalkan.

Pemerintah Daerah Di Papua Kepanjangan Tangan Pemerintah Pusat atau Proxy  Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM)

Menjadi pertanyaan dan prasangka rakyat Indonesia ketika terjadi teror berupa pembakaran, pembunuhan bahkan pembantaian di tanah Papua tidak satupun pemerintah daerah mengeluarkan pernyataan terkait aksi keji Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM).

Hal ini perlu ditinjau kembali komitmen dan kesetiaan aparat pemerintah daerah Papua terhadap NKRI, sebagaimana yang sering diperlihatkan urusan gerakan separatis menjadi urusan POLRI dan TNI semata padahal peran-peran pemerintah daerah menjadi penting dan strategis ditambah dengan Forkopimda.

Berangkat dari kasus korupsi Gubernur Lucas Enembe yang sebagian dana otonomi khusus yang diberikan negara Diduga di alihkan untuk mendanai gerakan separatis bahkan memfasilitasi pemberontak untuk membeli senjata dari luar negeri /Filipina. Artinya wajah pemerintah daerah yang memprioritaskan pribumi digunakan sebagai proxy dari gerakan separatis Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM).

Pendekatan Hukum VS Pendekatan Keamanan

Negara tidak boleh kalah atau takut terhadap pembangkangan dan gerakan teror dari separatis yang dilancarkan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM).

Gerakan separatis sangat senang apabila negara melakukan pendekatan hukum karena dianggap kriminal biasa, padahal gerakan OPM adalah gerakan makar yang tega mengorbankan nyawa warga sipil dan menghancurkan kehidupan masyarakat Papua. Sudah waktunya pendekatan keamanan dilakukan negara untuk menjamin keselamatan warga sipil, kedaulatan negara serta keutuhan bangsa dan negara.

Hal tersebut juga dilakukan Negara yang dianggap sebagai Induk Demokrasi dan Hak Azasi Manusia yakni Amerika, ketika kepentingan nasionalnya terganggu langsung US Army yang turun tangan, padahal persoalannya diluar negara tersebut  bukan hanya melanggar Demokrasi dan HAM.

Bahkan tidak segan-segan Amerika menghancurkan negara tersebut apabila mencampuri atau mendukung gangguan terhadap kepentingan Nasional Negara Amerika.

Dengan demikian berlakukan Status darurat Sipil demi keselamatan, keutuhan, dan kedaulatan  NKRI. Jangan sampai terulang kasus Referendum  di Timor Timur, dan Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, karena Rezim yang berkuasa takut dianggap melanggar HAM dan Demokrasi.

Pos terkait