20 Tahun Jambo Keupok Dalam Kelam

Nur Muhajirah Siagian.(Dok.pribadi).

Redaksi Jakarta – 20 Tahun silam tepatnya di 17 Mei 2003 aparat keamanan melakukan penyisiran serta penyerangan terhadap kampung-kampung dalam kecamatan Bakongan. Peristiwa ini berasal ketika desa Jambo Keupok diduga menjadi basis-basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Dalam operasinya anggota Tentara Nasional Indonesia serta para komando manunggal pada Satuan Gerakan Intelijen (SGI) melakukan tindak kekerasan kepada penduduk sipil.

Komnas HAM menyatakan insiden Jambo Keupok di Aceh Selatan yang terjadi 17 Mei 2003 adalah menjadi pelanggaran HAM berat. Bahkan sampai sekarang masalah tersebut belum tuntas sehingga korban tak menerima haknya. Peristiwa Jambo Keupok adalah satu asal lima pelanggaran HAM di Aceh yang diselidiki Komnas HAM.

Mantan komisioner Komnas HAM Otto Nur Abdullah mengatakan, “bencana Jambo Keupok modelnya sama seperti penghilangan nyawa massal”.

Bacaan Lainnya

Kala itu para tentara datang dan menggedor rumah masyarakat pada pagi hari. Dalam operasinya aparat kemanan datang dan  melakukan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil mirip penangkapan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan, dan perampasan harta benda.

Pasca MoU Helsinki ditandatangani, sebesar 38 insiden inovasi kerangka serta pembongkaran kuburan konflik di beberapa kabupaten Aceh. 16 orang penduduk sipil tewas sesudah disiksa, ditembak, bahkan dibakar hidup-hidup, serta lima orang lainnya turut mengalami kekerasan sang aparat.

Tragedi Jambo Keupok juga menghasilkan para masyarakat harus mengungsi selama 44 hari ke sebuah masjid sebab takut anggota Tentara Nasional Indonesia akan balik  datang ke Desa Jambo Keupok. Dua hari setelahnya, Megawati yang tengah menjabat sebagai Presiden RI kala itu mengeluarkan Keppres 28/2003 dan  memutuskan Darurat Militer (DM) di Aceh.

Tercatat terdapat sedikitnya 1.326 perkara kekerasan terhadap warga  sipil mencakup penghilangan nyawa, penyiksaan, pelecehan seksual, sampai penghilangan orang secara paksa. Pada ketika itu, forum warga  sipil di Aceh sempat dituduh militer berafiliasi menggunakan GAM serta dibungkam supaya berhenti menginformasikan situasi Aceh ke dunia luar, sebagaimana hal yang sama dapat kita lihat kembali terjadi di Papua ketika ini.

Meskipun status darurat militer di Provinsi Aceh telah dicabut, tetapi para korban serta keluarganya belum pula menerima keadilan serta pemulihan asal Negara. Pemerintah masih gagal menghukum para pelaku dan  memberi keadilan bagi para korban dan  keluarganya.

Padahal penuntasan perkara adalah keniscayaan. Penuntasan peristiwa Jambo Keupok bukan hanya untuk korban, tetapi juga bagi negara guna menyampaikan agunan ketidakberulangan insiden. Namun, proses perkembangan kasus stagnan pada tahapan administratif.

Berkas Jambo Keupok yang terakhir diserahkan pulang ke Jaksa Agung di 8 Maret 2017 masih belum terdapat perkembangan. Lakon bolak-kembali berkas penyelidikan yg dilakukan oleh Jaksa Agung menggunakan Komnas HAM, mencerminkan nihilnya itikad buat membantu dan  menyampaikan arahan yg kentara dalam proses pengembalian berkas. Tindakan tersebut menunjukan tiadanya intensi negara untuk menuntaskan masalah pelanggaran HAM di Jambu Keupok.

Diketahui, Presdien jokowi mengakui adanya perkara pelanggaran HAM berat yg pernah terjadi pada Indonesia. Setidaknya terdapat 12 kasus pelanggaran HAM Berat yang diakui joko widodo pada rentang tahun 1965-2003. Hal itu berdasarkan laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi insan. Di kesempatan itu, joko widodo menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat, bersimpati serta empati mendalam pada korban dan sanak famili para korban.

“Dengan pikiran yang jernih serta hati yang lapang dada, saya menjadi kepala Negara Republik Indonesia, mengakui pelanggaran hak asasi insan yang berat memang terjadi di aneka macam insiden. Saya sangat menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat,” ungkapnya dalam kabar pers, siang hari ini, Rabu, (11/1/2023).

Presiden Joko Widodo menegaskan Pemerintah berusaha memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Pemerintah juga berupaya berfokus agar tidak ada lagi kasus pelanggaran HAM berat pada Indonesia di masa mendatang.

Penulis Artikel Opini Nur Muhajirah Siagian.

Pos terkait