Refleksi Hari Raya Idul Adha 1445 H: Keteladanan dan Solidaritas Sosial Dalam Ritual Berkurban

Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja.

Berkurban merupakan sebuah praktik yang memiliki makna mendalam dalam dimensi batiniyah (spiritual) umat Islam. Menjalankan upaya untuk memperkuat nilai-nilai toleransi dan kesesuaian dengan ajaran agama yang luhur. Mengingatkan akan nilai-nilai keikhlasan, pengorbanan dan solidaritas dalam berbagi rezeki dengan sesama yang lebih membutuhkan.

REDAKSIJAKARTA.COM – Hari ini, seluruh umat Muslim merasakan semangat Hari Raya Idul Adha atau Idul Kurban. Hari Raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1445 H jatuh pada Senin, 17 Juni 2024. Penetapan tersebut berdasarkan hasil hisab dan rukyat yang telah dilaksanakan oleh Tim Hisab Rukyat Kemenag RI serta telah dikonfirmasi petugas Kemenag di daerah.

Idul Adha juga dikenal sebagai hari berbagi, dimana umat Muslim yang mampu dianjurkan untuk berkurban dan membagikan daging kurban kepada mereka yang kurang mampu. Qurban berasal dari akar kata ‘Yaqrabu’ yang memiliki makna mendekatkan diri kepada Allah. Praktik qurban tidak sekadar merupakan pelaksanaan perintah Allah, tetapi juga simbol dari ketaatan yang mendalam terhadap-Nya.

Keteladanan Ibrahim 

Bacaan Lainnya

Kisah Nabi Ibrahim AS dan perintah untuk menyembelih putranya, Ismail AS, adalah salah satu ujian terbesar dalam sejarah manusia. Menyelami perasaan batiniah Nabi Ibrahim AS pada saat itu memberikan gambaran tentang betapa kuatnya keimanan dan keikhlasannya. Nabi Ibrahim AS telah menanti bertahun-tahun untuk memiliki seorang anak. Setelah doa dan penantian yang panjang, Allah SWT akhirnya mengaruniakan seorang putra, Ismail AS. Kebahagiaan yang dirasakannya pastilah luar biasa. Namun, kebahagiaan ini diuji ketika Allah SWT memerintahkannya untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya tersebut.

Perintah ini adalah ujian iman dan kepatuhan yang paling ekstrem. Bagi Nabi Ibrahim AS, menerima perintah ini tentu saja menimbulkan perasaan campur aduk, antara cinta yang mendalam kepada putranya dan ketaatan mutlak kepada Allah SWT. Dalam kondisi seperti ini, banyak orang mungkin akan merasa bingung, takut, dan bimbang. Namun, Nabi Ibrahim AS menunjukkan kedalaman keimanan dan keikhlasannya.

Keikhlasan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim AS berasal dari kesadaran mendalam bahwa semua yang dimilikinya hanyalah titipan dari Allah SWT. Ini adalah kesadaran yang membuatnya mampu melepaskan hal yang paling berharga sekalipun demi memenuhi perintah Allah. Keikhlasan ini bukan sekadar menerima perintah dengan pasrah, tetapi juga memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini bukan milik kita sepenuhnya, melainkan amanah dari Allah yang harus kita jaga dan kembalikan kepada-Nya kapanpun Dia kehendaki.

Kisah monumental Nabi Ibrahim dan putranya Ismail menggambarkan bahwa dalam kehidupan setiap orang, ada sesuatu atau seseorang yang sangat dicintai dan dipertahankan. “Ismail” bisa berwujud harta, jabatan, keluarga, prestasi, atau apapun yang sangat berharga bagi kita. Ujian terbesar dalam hidup adalah ketika kita harus melepaskan “Ismail” kita demi ketaatan kepada Allah SWT.

Terbentuknya sikap baik dari Nabi Ismail AS tidak lepas dari peran besar Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar sebagai orang tuanya. Kedua orang tua ini tidak hanya membesarkan Ismail dengan penuh cinta dan kasih sayang, tetapi juga dengan penuh kesadaran akan pentingnya nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim AS sebagai seorang nabi dan ayah, memberikan teladan ketaatan yang luar biasa kepada Allah SWT, sementara Siti Hajar, dengan kesabarannya, menunjukkan keteguhan iman dan pengorbanan yang tulus. Sikap-sikap inilah yang membentuk karakter kuat dan kepribadian mulia dalam diri Nabi Ismail AS. Dalam Islam, balasan yang paling berharga atas cinta dan pengorbanan orang tua kepada anak-anaknya adalah birrul walidain, atau berbakti kepada orang tua. Anak yang berbakti senantiasa menghormati, mencintai, dan mendoakan orang tuanya.

Doa orang tua adalah doa yang mustajab, memiliki kekuatan yang luar biasa dihadapan Allah SWT. Mengingat bahwa di hari kiamat nanti mulut kita akan terkunci, dan tangan serta kaki kita akan menjadi saksi atas segala perbuatan kita, sikap kita kepada orang tua akan diperlihatkan dan dipertanggung-jawabkan. Oleh karena itu, menjaga hubungan baik dengan orang tua dan berusaha untuk selalu berbakti kepada mereka adalah salah satu cara terbaik untuk menunjukkan rasa syukur dan ketaatan kepada Allah SWT. Melalui teladan dari Nabi Ibrahim AS dan Siti Hajar, serta kesadaran akan pentingnya birrul walidain, kita belajar bahwa membentuk karakter yang baik dalam diri anak-anak kita adalah tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.

Empat Karakter Manusia

Imam Ghazali menjelaskan bahwa manusia pada dasarnya memiliki empat karakter utama yang mencerminkan berbagai aspek dari eksistensi mereka, yaitu Al-Rubu’iyah, Al-Syaithaniyah, Bahimiyah, dan Sabu’iyah. Pertama Al-Rubu’iyah (Sifat Ketuhanan), Karakter ini mencerminkan sifat-sifat luhur dan mulia yang idealnya dimiliki oleh manusia, seperti kebijaksanaan, keadilan, belas kasihan, dan pengampunan. Sifat ketuhanan ini mendorong manusia untuk bertindak dengan integritas, moralitas, dan spiritualitas yang tinggi, mendekatkan diri mereka kepada Tuhan. Kedua Al-Syaithaniyah (Sifat Kesetanan), karakter ini mewakili aspek negatif yang mendorong manusia ke arah tipu daya, kejahatan, dan ketidakjujuran. Sifat kesetanan ini sering kali memanifestasikan diri dalam bentuk godaan untuk melakukan dosa, perbuatan jahat, dan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Ketiga Bahimiyah (Sifat Kehewanan), Sifat ini mencerminkan dorongan-dorongan naluriah dan hedonistik dalam diri manusia, seperti keinginan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan material tanpa memperhatikan moral atau etika. Sifat kehewanan ini berfokus pada pemuasan hasrat dan keinginan yang bersifat duniawi, seperti makan, minum, dan hubungan seksual. Keempat Sabu’iyah (Sifat Kebuasan), Karakter ini mencerminkan aspek agresif dan destruktif dalam diri manusia, yang mendorong mereka untuk bertindak kasar, bermusuhan, dan intoleran. Sifat kebuasan ini termasuk perilaku suka berkelahi, mudah marah, menyerang, dan memaki, yang seringkali menyebabkan konflik dan kerusakan dalam hubungan sosial.

Membangun Solidaritas Sosial

Qurban juga mengajarkan tentang pentingnya kepedulian terhadap sesama, dimana daging hasil qurban dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkan, termasuk fakir miskin, yatim piatu, dan janda. Tindakan ini tidak hanya merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat, menciptakan solidaritas, dan membantu mengurangi kesenjangan ekonomi. Melalui pembagian daging qurban, kita belajar untuk berbagi berkah dan kebahagiaan dengan mereka yang kurang beruntung, sehingga tercipta rasa saling peduli dan empati yang lebih dalam di antara sesama manusia.

Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran ini dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti memberikan bantuan materi kepada yang membutuhkan, mendukung secara emosional mereka yang sedang mengalami kesulitan, atau memberikan dukungan spiritual bagi mereka yang tengah mencari ketenangan batin. Dengan demikian, qurban menjadi sebuah pengingat akan pentingnya menjalankan peran kita sebagai makhluk sosial yang senantiasa peduli dan berbagi dengan orang-orang di sekitar kita, sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.

Berkurban merupakan sebuah praktik yang memiliki makna mendalam dalam dimensi batiniyah (spiritual) umat Islam. Melalui qurban, umat Islam menjalankan upaya untuk memperkuat nilai-nilai toleransi dan kesesuaian dengan ajaran agama yang luhur. Tindakan ini tidak hanya sekadar ritual fisik, tetapi juga merupakan bentuk pengabdian dan pengorbanan diri yang mengarah pada peningkatan akhlakul karimah, atau akhlak yang mulia. Dengan menyembelih hewan kurban kita diingatkan akan nilai-nilai seperti keikhlasan, pengorbanan, dan solidaritas dalam berbagi rezeki dengan sesama yang lebih membutuhkan. Hal ini menciptakan ikatan sosial yang kuat dalam komunitas Muslim, serta memperkokoh kesadaran akan kewajiban untuk saling membantu dan mendukung sesama.

Selain itu, berkurban juga merupakan sarana untuk membentuk pribadi yang memiliki akhlakul karimah. Proses memilih, merawat, dan menyembelih hewan kurban dengan penuh kesadaran dan keikhlasan membantu umat Islam untuk mengembangkan sifat-sifat seperti kejujuran, kemurahan hati, dan tanggung jawab sosial. Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, individu diharapkan dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan sikap yang mulia dan menjauhi perilaku.

 

Penulis : Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja (Pemerhati Sosial Politik dan Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta, Direktur Heri Sehudin Center, Wakil Ketua PDM Kota Depok).

Pos terkait