Agama Sebagai Kekuatan Kritik

Oleh: Virgianto, SE,S.Sos, M.Pd

Agama memiliki peran yang sangat besar sebagai penyeimbang dalam setiap kehidupan ummat manusia, bukan hanya sekedar diasumsikan untuk mengurusi “dosa – dosa pribadi atau individu dari par umatnya,”tetapi diperlukan juga sebagai kritik terhadap kesenjangan sosial yang ada pada masyarakat dimana agama itu berada.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Disamping memberikan pencerahan hati untuk lebih mengenal Tuhan dan membina kesalehan pribadi, secara sosiologis setiap agama besar pada masa awal kelahiran-Nya selalu tampil sebagai gerakan kritik terhadap berbagai bentuk pelecehan hak-hak asasi manusia yang terjadi dalam masyarakat.

Bacaan Lainnya

Sosok figur seperti Nabi Musa As, Nabi Isa As dan Nabi Muhammad S.A.W tidak saja dikenal oleh sejarah sebagai peletak dasar agama besar dunia, tetapi juga sebagai pejuang hak asasi manusia yang amat gigih dan tidak kenal kompromi.

Itulah sebabnya begitu memulai berdakwah, tantangan yang pertama muncul selalu datang dari para penguasa yang tengah menikmati kemewahan hidup diatas derita rakyat miskin yang ada dan tertindas.

Kehadiran agama oleh para penguasa selalu dicurigai, dibenci dan ingin dimusnahkan karena suara para Nabi sarat dengan pesan dan semangat keadilan yang membuat gelisah bagi para kaum tirani yang hanya melihat pada kepentingan dirinya sendiri.

Makna dan semangat keadilan biasanya lebih dihayati oleh orang – orang miskin dan teraniaya, yang berada pada strata sosial terbawah dari masyarakat piramida yang menjadi obyek eksploitasi segelintir penguasa yang ada dipuncak piramida.

Oleh karenanya, bukan suatu kebetulan jika kemunculan Sang Nabi selalu hadir dari tengah rakyat jelata, dari lingkungan pengembala, yang hati dan pikirannya senantiasa menyuarakan denyut dan gelisah rakyat kecil yang mata hatinya masih terang benderang untuk bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Karena pesan dasar agama adalah suara hati nurani, maka seruan para Nabi selalu disambut dengan penuh antusiasme oleh mereka yang damba pada jalan kebenaran dan membutuhkan pembebasan, bukan pada orang–orang yang selalu membodohi rakyat.

Pada masa awal kebangkitan agama dimana tingkat peradaban masyarakat masih tradisional maka peran Sang Nabi dan figur Ulama/Pendeta/Biksu sangat efektif dalam memposisikan diisi sebagai kekuatan kritik sosial.

Pada waktu itu kekuatan individu kharismatik lebih menonjol ketimbang sebuah institusi sosial. Pada peradaban masyarakat modern kekuatan individual tidak cukup, sehingga membutuhkan dukungan berupa institusi keagamaan yang salah satu tugasnya adalah melakukan kritik sosial.

– Penulis adalah Mantan Ketua Pemuda PMS (Persaudaraan Muslim Sedunia) periode 2000–2012.

– Alumni Himpunan Mahasiswa Islam(HMI) Jakarta.

Pos terkait